Sebenarnya sejak awal Ramadhan kemarin Pak Bei sudah berhasil menghindari omon-omon atawa ngobrol tentang politik. Bukan karena Pak Bei berpandangan ‘politik itu kotor’. Bukan. Tapi karena di samping dunia politik memang bukan habitatnya, Pak Bei menyadari bahwa di bulan Ramadhan sebaiknya menghindari pikiran dan obrolan yang tidak perlu. Kalau tidak bisa berpikir dan omong yang bermanfaat, lebih baik diam. Begitu Pak Bei memahami dhawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pak Bei bersyukur, di hari pertama Lebaran pun masih bisa terjaga dari pikiran dan omongan politik. Meskipun sejak pagi hingga sore banyak tamu berlebaran ke nDalem Pak Bei, tapi semua obrolannya masih terkendali, sebatas kabar keluarga, sekolah anak, cucu-cucu yang lucu, seputar kesehatan, atau seputar harga panenan padi dan sayuran para petani serta telor ayam para peternak yang sedang bagus di pasaran. Tidak ada yang nyinggung politik. Hati dan pikiran pun terasa nyaman.
Tapi suasana ayem-tentrem itu bubrah seketika gara-gara bakda isya’ kedatangan tamu spesial: Kang Narjo. Dikira sabahatnya yang loper koran senior itu datang untuk sekedar berlebaran seperti tamu-tamu lainnya. Ternyata ada maksud lain. Seperti biasanya, dia datang membawa pikiran dan kegelisahan yang sudah dipendamnya berhari-hari. Soal politik. Aah Kang Narjo, sukanya bikin kepyoh pikiran orang.
“Situasi politik kita ngemar-emari lagi ya, Pak Bei,” kata Kang Narjo membuka obrolan setelah saling bermaaf-maafan dan nyeruput kopi semendo yang disuguhkan Mas Cahya.
“Ngemar-emari bagaimana, Kang?,” tanya Pak Bei.
“Revisi UU TNI yang seperti dipaksakan itu lho. Kesannya cepet-cepetan demi ngejar setoran.”
“Wah aku tidak mengikuti soal itu, Kang.”
“Berita sepenting ini masa Pak Bei gak ngikuti?”
“Enggak, Kang.”
“Tapi minimal lihat di medsos video demonstrasi mahasiswa di berbagai kampus dan daerah yang menolak revisi itu, kan?.”
“Baca judulnya saja, Kang. Tapi ora tak gagas. Juga gak ikut komentar. Lha wong sama sekali tidak paham isi draft revisi itu kok. Tidak paham masalahnya.”
“Tapi saya percaya, dari baca judul beritanya saja pasti Pak Bei sudah paham apa yang tengah terjadi.”
“Ya enggaklah. Memangnya aku ini dukun?”
“Waskita gitu, lho.”
“Enggaklah, Kang. Sebenarnya apa to yang terjadi?”
“Intinya, Pemerintah perlu landasan hukum untuk memberi ruang yang lebih luas bagi TNI bisa berperan di pengelolaan negara. Maka UU TNI perlu direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Begitu kira-kira, Pak Bei.”
“Ooh jadi maksudnya akan semakin banyak ruang bagi TNI menduduki pos-pos pengelolaan negara yang seharusnya untuk sipil, begitu?”
“Ya begitulah kira-kira. Sayangnya, revisi itu tanpa melalui proses yang transparan, tanpa melalui uji publik. Kesannya tertutup, sembunyi-sembunyi. Bahkan, dalam tempo relatif singkat sudah disahkan menjadi Undang-Undang melalui Sidang Paripurna DPR.”
“Tergantung tarifnya kali, Kang.”
“Maksudnya?”
“Seperti kalau kita kirim paket, kan ada tarif biasa, ada tarif kilat, ada tarif kilat khusus, dan ada tarif express. Ana rega ana rupa, tariflah yang menentukan jenis pelayanan.”
“Mestinya gak boleh seperti itu, Pak Bei. Urusan negara kok kesusu, grusah-grusuh. Mau jadi apa negara ini…”
“Kan tadi Kang Narjo bilang terjadi demo di mana-mana. Banyak yang keberatan, ya?”
“Ya jelas. Makanya orang jadi curiga, jangan-jangan UU TNI hasil revisi itu hanya akal-akalan untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI seperti jaman Orde Baru dulu.”
“Itu tidak mungkin, Kang. Jarum jam tidak mungkin diputar kembali ke belakang. Jamannya juga sudah beda.”
“Panggraita-ku juga bukan soal Dwi Fungsi itu, Pak Bei.”
“Soal apa, Kang?”
“Revisi itu diperlukan untuk meredam gejolak di internal TNI. Makanya harus cepat diselesaikan, apapun yang terjadi.
“Gejolak di internal TNI? Memangnya ada apa, Kang?”
“Wah Pak Bei ini, lho. Mbokya agak cerdas sedikit kalau membaca kahanan. Ibarat permainan puzle, ada hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.”
“TNI kita solid kok, Kang. Tidak ada gejolak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Presidennya juga Jenderal, lho.”
“Semua rakyat penginnya juga begitu, Pak Bei. Sebagai rakyat, aku melihat situasinya agak mengkhawatirkan. Jadi revisi UU TNI yang terkesan cepet-cepetan itu bisa dipahami. “
“Ada gelagat kurang solid, maksudmu? Memangnya ada apa, to?”
“Ini terkait dengan munculnya Rising Star di kalangan TNI, Pak Bei. Anak muda yang
karirnya melejit secepat kilat dan dalam tempo yang sangat singkat itu potensial menimbulkan gejolak.”
Pak Bei sudah paham ke mana arah obrolan Kang Narjo dan siapa yang dimaksud dengan Rising Star itu. Tapi sengaja dibiarkannya sahabatnya itu menumpahkan uneg-uneg.
“Rising Star gimana maksudmu, Kang?,” Pak Bei memancing.
“Sedemikian hebatnya anak muda ini, hanya butuh waktu 14 tahun berkarir di militer, dia sudah berhasil dipercaya Presiden untuk menduduki jabatan dan posisi strategis di ring-1.”
“Ampuh tenan ya, Kang. Mungkin memang istimewa orangnya.”
“Usianya baru 36 tahun, lho. Masih sangat muda. Padahal, tradisi kepangkatan di militer kan sangat ketat dan profesional. Seorang alumni Akmil perlu proses 30-an tahun untuk bisa mencapai level perwira tinggi. Untuk bisa mendapatkan jabatan penting, apalagi di ring-1, mereka harus sudah teruji kemampuannya, dari bertugas sebagai komandan pleton, kompi, batalion, dan penugasan-penugasan strategis seperti operasi-operasi militer, misalnya.”
“Itu kan standar, Kang. Ingat lho, dalam sejarah selalu ada orang-orang istimewa.”
“Contohnya?”
“Ingat Sultan Mehmed II dari Dinasti Ustmaniyah di Turki. Ketika memimpin pasukan kaum Muslimin merebut dan menaklukkan Konstantinopel tahun 1463, usia Sultan Mehmed II baru 21 tahun. Anak muda yang sangat cerdas dan ahli strategi perang itu berhasil memimpin pasukan Islam menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur yang sudah berkuasa di Konstantinopel selama 11 abad.”
“Itu perbandingan yang tidak aple to aple, Pak Bei. Terlalu jomplang. Kejauhan. Anak ini kesannya kan dumadakan, sekonyong-konyong, langsung menyalip puluhan seniornya yang sudah berdarah-darah menjalankan tugas-tugas kemiliteran, Pak Bei.”
“Aku cuma ingin menunjukkan bahwa di setiap masa ada orang-orang hebat dan istimewa, Kang.”
“Iya paham. Tapi anak ini belum teruji, Pak Bei. Pengalamannya masih sebatas jadi Asisten Ajudan Presiden dan Ajudan Menteri Pertahanan. Menurutku belum cukup teruji kemampuannya. Pangkatnya juga baru Mayor. Potensial menimbulkan kecemburuan dan perasaan tidak adil.”
“Ingat, Kang, wong pinter kuwi isih kalah karo wong bejo, orang pandai itu masih kalah sama orang beruntung. Mungkin anak itu memang termasuk wong bejo, Kang. Orang beruntung tidak harus pandai. Kebetulan dia berada pada lingkungan dan momentum yang tepat.”
“Menurut Pak Bei, bejo atau keberuntungan itu murni hadiah dari Tuhan atau ada peran bahkan rekayasa manusia?”
“Bisa dua-duanya, Kang.”
“Kalau dalam kasus yang obrolkan ini, itu hadiah alias takdir Tuhan atau rekayasa manusia?”
“Kang, yang kita bicarakan ini soal politik. Jadi jelas ada faktor rekayasa manusia. Orang bisa jadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Anggota DPR, Ketua MK, Ketua MA, Ketua KPK, Kapolri, Panglima TNI, Direktur BUMN, Komisaris dan Direksi BUMN, itu semua ada rekayasa manusia, tentu ada proses politik yang dilalui dengan berdarah-darah.”
“Tepat sekali, Pak Bei.”
“Iya, kan?”
“Rising Star yang kita bahas tadi juga hasil dari proses politik. Hak prerogratif Presiden.”
“Nah jelas sekali, kan? Jadi rasah dho serik, jangan pada iri. Kita doakan saja semoga anak muda itu dapat mengemban amanah sebaik-baiknya, bisa menunjukkan kinerja yang luar biasa sebagai pembantu Presiden.”
“Kembali ke laptop.”
“Siap, Kang.”
“Itulah makanya UU TNI perlu direvisi untuk memberi peluang senior-seniornya agar bisa berperan aktif di pos-pos pemerintahan. Dengan cara itu, gejolak dan kegelisahan di internal TNI bisa diminimalisir.”
“Mudah-mudahan panggraita dan analisismu itu bener, Kang,” kata Pak Bei sambil melihat jam di HP-nya. “Sudah jam 23.00, Kang. Saatnya istirahat. Kapan-kapan kita sambung lagi obrolan ini, ya.”
“Baiklah, Pak Bei. Saya pamit dulu. Wassalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam…,” jawab Pak Bei sambil salaman dan berdiri melepas Kang Narjo menuju motornya di halaman.