29.5 C
Jakarta
Friday, June 27, 2025
spot_img

Kopdes Merah Putih

Sore yang cerah. Pak Bei dan Bu Bei semula hanya ingin ngajak jalan-jalan si Eza, cucunya semata wayang yang baru genap usia dua tahun dua minggu lalu. Bukan jalan-jalan ke Mall seperti orang kota. Bukan. Hanya sekadar keluar memikmati suasana sore hari, lalu pulang sebelum azan maghrib. Dibayangkannya tingkah Eza yang lucu girap-girap gembira setiap kali ketemu konvoi truk pasir galian-C yang baru turun dari lereng Gunung Merapi.

“Dada, Koo’…Dada, Koo’…,” begitu ucapan Eza sambil melambai-lambaikan tangan. Maksudnya, “Dada, Truk…Dada, Truk…” Eza memang paling senang melihat truk, apalagi truk yang besar-besar.

Tapi mana bisa hanya ngajak Eza. Ayah dan mamanya, Mas Cahya dan Mbak Vika, tak mau ketinggalan. Onti Zika pun tak mau ditinggal sendirian di rumah. Maka jadilah sore itu pasukan lengkap keluarga Pak Bei jalan-jalan dengan innova tuanya di seputar kawasan Jatinom dan Ngawen.

“Bagaimana kalau kita bablas makan mie ayam?” tiba-tiba Bu Bei usul. Tawaran makan mie ayam di warung langganan dekat stasiun Klaten pun disambut gegap-gempita.

“Waoow…cocok,” sahut Mas Cahya.

“Mauuu. Mauuu…,” sahut Zika.

Kedua anak Pak Bei itu memang sejak kecil sukanya makan mie ayam. Hingga dewasa pun kesukaan itu masih terjaga dengan baik. Hampir semua warung bakso dan mie ayam di Klaten pernah dicobanya. Studi banding, katanya.

Tiba di warung langganan tepat saat terdengar suara azan maghrib dari corong masjid-masjid sekitar. Sambil menunggu pesanan datang, Pak Bei dan Mas Cahya langsung menuju mushola di belakang. Antri wudhu. Ada dua orang sedang ambil wudhu di keran.

“Looh Pak Bei, ketemu di sini.”

“Looh Kang Narjo. Dari mana, Kang?” Ternyata yang wudhu tadi sahabatnya, si loper koran senior, dengan temannya.

“Dari besuk tetangga yang opname di RS Bagas Waras. Mampir ke sini pengin makan bakso.”

Selesai sholat maghrib berjamaah, Mas Cahya giliran menjaga Eza. Mamanya Eza sholat bersama Oma dan Onti Zika. Pak Bei memilih duduk bergabung dengan Kang Narjo. Dua sahabat itu kalau ketemu pasti ada saja yang diobrolkan.

“Semua Kepala Desa lagi mumet ndase ini, Pak Bei,” Kang Narjo membuka obrolannya.

“Kenapa, Kang?”

“Mereka harus mendirikan Koperasi Desa Merah Putih di Desanya masing-masing paling lambat tanggal 9 Mei.”

“Loh pakai deadline?”

“Namanya juga program prioritas Pemerintah Pusat, kalau gak di-deadline pelaksanaan di lapangan pasti santai, sak tekane.”

“Semua ngejar target ya, Kang. Kejar setoran.”

“Kasihan melihat Kepala-Kepala Desa itu. Mereka tampak bingung harus memulai dari mana. Minggu lalu seluruh Kades se-Jawa Tengah dikumpulkan di Semarang untuk mengikuti Bimtek. Hari berikutnya dikumpulkan lagi di Kabupaten, diceramahi agar segera gumregah mendirikan Kopdes Merah Putih.”

“Oh makanya satu-dua hari terakhir ini kudengar beberapa Desa menyelenggarakan Musdesus. Itu to masalahnya?”

“Karena itu harus menjadi program prioritas di luar rencana program kerja yang sudah dibuat, maka harus diputuskan melalui Musyawarah Desa Khusus, Pak Bei.”

“Ya betul itu, Kang. Setahuku, program-program yang sudah mereka putuskan melalui Musdes RKPDes dan APBDes akhir tahun lalu saja belum terlaksana karena dananya belum cair, katanya.”

“Dana Desa maksudnya?”

“Ya Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bantuan Provinsi, Bagi Hasil Pajak, dan sebagainya. Itu belum ada yang cair. Makanya program-program Desa belum tereksekusi.”

“Jamannya efisiensi kok, Pak Bei. Semua program Kementerian konon juga mandek. Anggaran dialihkan ke sektor pangan, terutama Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih.”

Seorang pelayan menyajikan dua mangkok bakso pesanan Kang Narjo dan temannya. Pesanan Pak Bei dan keluarganya belum datang.

“Sambil makan duluan, Kang. Silakan.”

“Lha Pak Bei?”

“Kami datang belakangan, harus antri.”

Kan Narjo dan temannya mulai menyantap bakso. Pak Bei memandangi sahabatnya dengan rasa heran. Ternyata Kang Narjo mengikuti soal Kopdes Merah Putih, program prioritas Pemerintah Prabowo dengan anggaran yang sangat besar itu.

“Menurutmu bagaimana program Kopdes Merah Putih itu, Kang?”

“Bagus.”

“Bagusnya di mana?”

“Terlepas dari urusan politik, apakah pas Pilpres kemarin kita milih Pak Prabowo atau tidak, kita harus mengakui bahwa beliau tampak punya komitmen kuat membangun ekonomi rakyat dan swasembada pangan.”

“Begitu ya, Kang?”

“Dulu Orde Baru sangat serius membangun sektor pangan melalui Repelita, Bimas, membangun KUD di setiap Kecamatan, bikin Klompencapir, dan sebagainya. Dan berhasil., lho.”

“Iya, Kang. Tahun 1984-1985 kita surplus beras dan bisa ekspor, ya.”

“Itu karena Pemerintah pada waktu itu serius, Pak Bei. Ekonomi petani digarap sungguh-sungguh. Diproteksi. Bukan dibiarkan digempur beras impor seperti jaman repotnasi ini.”

“Jaman Reformasi, maksudmu?”

“Dulu kita berharap reformasi akan mensejahterakan rakyat dan menghidupkan demokrasi, eh ternyata kita salah sangka. Yang terjadi justru repotnasi dan rusaknya demokrasi.”

“Yah, pesanan sudah datang. Ayo makan dulu,” terdengar Zika memanggil Pak Bei.

“Kapan-kapan kita lanjut omon-omon ya, Kang.”

“Siap, Pak Bei. Monggo disekecakke,” Kang Narjo mempersilakan Pak Bei bergabung ke meja keluarga.
“Kami pulang dulu, ya. Sudah kenyang,” sambungnya sambil berdiri menuju kasir.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
22,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles