32 C
Jakarta
Sunday, June 15, 2025
spot_img

Swasta Mengatur, Negara Menghilang: Catatan dari Armuzna

Oleh: Wahyudi Nasution
Karom KBIHU Arafah PD Muhammadiyah Klaten, Kloter SOC-76

Perjalanan ibadah haji dari Arafah ke Muzdalifah hingga Mina—yang sering disebut Armuzna—kembali menjadi titik paling genting dari seluruh rangkaian manasik. Setiap tahun, jutaan jamaah dari seluruh dunia bergerak dalam waktu hampir bersamaan, dengan moda transportasi yang terbatas, dalam kondisi fisik dan emosional yang tidak ringan. Sayangnya, di tahun 2025 ini, kekacauan Armuzna terulang lagi, bahkan dengan wajah baru yang lebih membingungkan.

Pemerintah Arab Saudi telah mengadopsi sistem layanan berbasis perusahaan swasta, Syarikah, menggantikan sistem muassasah lama. Secara prinsip, pendekatan ini bertujuan lebih profesional dan efisien. Namun transisi besar ini tidak dibarengi kesiapan para pihak. Jamaah haji Indonesia, yang jumlahnya terbesar, terlihat belum sepenuhnya siap—baik dari segi informasi, adaptasi teknis, maupun kesiapan petugas lapangan.

Akibat keterlambatan adaptasi, pola pelayanan Syarikah malah menjadi sumber kebingungan. Mekanisme baru, titik kumpul yang berubah, hingga jalur evakuasi yang tidak familiar membuat banyak kloter mengalami keterlambatan serius. Banyak jamaah tertahan di Muzdalifah hingga dini hari, bahkan baru tiba di Mina saat mentari meninggi. Padahal mereka butuh istirahat sebelum melanjutkan prosesi lontar jumrah di Jamarat.

Salah satu kebijakan yang sebenarnya progresif adalah program murur, yaitu mabit di Muzdalifah dengan cara melintas (tanpa turun dari bus), khusus bagi jamaah lansia, disabilitas, dan risiko tinggi. Namun, tidak tersedia infrastruktur khusus maupun armada yang memadai untuk mendukung program ini. Akibatnya, peserta murur justru terjebak lebih lama karena kalah berebut bus yang kedatangannya sangat jarang.

Keterlambatan armada membuat ribuan jamaah—termasuk kelompok rentan—terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, menempuh jarak panjang di tengah malam hingga pagi hari. Banyak di antara mereka yang baru sampai tenda Mina ketika matahari sudah tinggi dan suhu mulai panas menyengat. Mereka kelelahan, kehausan, dan kehilangan waktu istirahat yang amat penting sebelum melontar jumrah.

Di tengah krisis ini, satu hal yang paling mencolok adalah ketiadaan polisi lalu lintas. Event sebesar haji yang melibatkan jutaan penumpang dan ribuan armada semestinya tidak bisa diserahkan begitu saja kepada vendor transportasi atau sopir-sopir dari pihak ketiga.

Ketertiban lalu lintas adalah domain negara, dan dalam hal ini, seharusnya menjadi tanggung jawab Polisi Lalu Lintas Arab Saudi untuk mengatur, mengawal, dan mengarahkan pergerakan secara sistemik. Tanpa komando tegas di lapangan, semua menjadi chaos.

Ketika negara menyerahkan seluruhnya pada swasta dan menghilang dari tanggung jawab dasar seperti lalu lintas, maka bukan hanya pelayanan yang hilang, tetapi martabat jamaah sebagai tamu Allah SWT pun dipertaruhkan. Maka, tidak heran jika di tengah kekacauan, muncul kembali keyakinan spiritual bahwa semua ini adalah ujian kesabaran. Namun, tidak adil jika kekacauan yang bisa dicegah oleh manajemen justru dibebankan sepenuhnya pada takdir dan kesabaran jamaah.

Sebagai negara dengan kuota jamaah terbesar di dunia, Indonesia semestinya menjadi pelopor adaptasi sistem ini, serta bersuara lantang di forum internasional jika pelayanan tidak sesuai janji. Pemerintah harus aktif menuntut jaminan sistemik dari negara penyelenggara haji. Sebab haji bukan hanya ibadah personal, melainkan juga ujian kolektif negara dalam melayani warganya sebagai tamu Allah.

Safwat Al-Shorouq Hotel 502 Raodhoh, Mekah, 9 Juni 2025

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
22,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles