27.1 C
Jakarta
Tuesday, October 14, 2025
spot_img

Pragolapati di Jalanan Pati

Oleh: Wahyudi Nasution (*)

Orang Pati mungkin tidak semua hafal tanggal lahir Pragolapati, apalagi tahun wafatnya. Tapi kalau bicara tentang watak Pragolapati, nyaris semua warga menyimpannya di tulang sumsum. Bukan dalam bentuk hafalan sejarah sekolah, tapi dalam bentuk sikap hidup: tegak kepala, keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh kuasa luar.

Itulah yang membuat saya tidak kaget ketika beberapa hari terakhir, Pati berubah menjadi panggung besar perlawanan.

Ratusan ribu orang turun ke jalan, menuntut Bupati mundur. Mereka bentrok dengan polisi dan tentara, bahkan dua nyawa melayang. Sungguh, ini bukan sekadar keributan soal pajak bumi dan bangunan. Ini semacam gema sejarah, gema yang sudah bergulir ratusan tahun.

Antropologi Pati dan Watak Pesisir

Sebagai daerah pesisir utara Jawa, Pati punya sejarah panjang interaksi dengan pedagang asing, pelaut, dan pasukan dari luar daerah. Ombak Laut Jawa yang tak kenal ampun membentuk warga yang tabah. Pelabuhan dan pasar membentuk mereka menjadi komunikatif, terbuka, tapi juga waspada.

Dari sudut antropologi, Pati mewarisi tipologi “masyarakat pesisir” yang:

  • Terbuka tapi selektif — menerima pengaruh luar, tapi hanya kalau tidak merendahkan martabat.
  • Berani bersuara — dalam musyawarah, semua boleh bicara, meski kepada pemimpin.
  • Solidaritas horizontal kuat — rakyat cepat bergerak ketika ada ancaman bersama.
  • Harga diri di atas kompromi — kehormatan dianggap lebih penting dari kenyamanan.

Karakter-karakter itulah yang membuat masyarakat Pati tidak gampang didikte, apalagi jika kebijakan dianggap merugikan dan arogan.

Legenda Pragolapati

Pragolapati, atau Adipati Pragola II, adalah simbol watak itu. Dalam kisahnya, ia berani menantang Panembahan Senopati, Raja Mataram, meskipun Senopati adalah iparnya. Pemicu konflik bukan sekadar politik kekuasaan, melainkan rasa harga diri yang terinjak.

Ia menolak hadir di pisowanan agung, menolak tunduk pada aturan yang dianggap mengurangi kedaulatan wilayahnya. Ia memilih perang terbuka, meski tahu Mataram jauh lebih besar dan kuat. Dalam beberapa versi, ia gugur di medan perang. Dalam versi lain, ia mundur dan menetap di Gunungpati, membawa martabatnya sampai akhir hayat.

Di mata antropologi budaya, Pragolapati bukan hanya tokoh sejarah. Ia adalah charter myth — mitos pendiri yang memberi legitimasi moral pada sikap masyarakat. Artinya, warga Pati punya contoh leluhur yang membenarkan pilihan “lebih baik mati daripada tunduk pada arogansi”.

Paralelisme Historis ala Kuntowijoyo

Kuntowijoyo, sejarawan besar itu, pernah menjelaskan tentang paralelisme historis — bahwa sejarah sering berjalan dalam pola yang sama, tapi dengan aktor dan kostum berbeda. Peristiwa masa lalu bisa berulang, bukan sebagai salinan persis, tapi sebagai reinkarnasi pola.

Dalam bingkai ini, apa yang terjadi di Pati hari ini adalah versi baru dari kisah Pragolapati:

Dulu: seorang adipati melawan raja karena merasa rakyatnya diperlakukan tidak adil.
Kini: rakyat melawan bupati karena merasa diperas lewat kebijakan pajak.

Bedanya, dulu medan perang ada di alun-alun dan hutan, kini di jalan raya dan linimasa media sosial. Dulu senjata adalah tombak dan keris, kini ponsel, spanduk, dan sorakan massa. Tapi rasa di dada itu sama: rasa tak mau tunduk pada keangkuhan.

Rakyat sebagai Pragolapati

Yang menarik, kali ini Pragolapati bukan satu orang. Ia menjelma menjadi ribuan bahkan ratusan ribu kepala. Tiap orang yang turun ke jalan membawa sedikit bara api dari legenda itu, meskipun mungkin tidak semua sadar. Mereka marah bukan hanya karena angka di tagihan pajak, tapi karena merasa diperlakukan seperti rakyat kecil yang tidak punya suara.

Bupati mungkin merasa sedang “menertibkan pajak”, tapi rakyat membacanya sebagai “menertibkan rakyat”. Sama seperti dulu Mataram merasa hanya “mengatur adipati”, tapi Pragolapati membacanya sebagai “mengatur harga diri”.

Pelajaran yang Belum Dihafal

Sejarah, kata orang bijak, adalah guru. Tapi guru ini hanya sabar bagi yang mau belajar. Kalau tidak, ia akan mengulang pelajarannya — dan rakyat Pati, dengan ingatan kolektif tentang Pragolapati, akan mengulang jawabannya: melawan.

Bila pemerintah ingin meredakan ini, yang dibutuhkan bukan hanya revisi kebijakan, tapi juga pengembalian rasa hormat. Karena di Pati, tunduk bukan soal kalah atau menang, tapi soal apakah kepala bisa tetap tegak di hadapan langit.

(*) Pegiat Pemberdayaan Masyarakat, tinggal di Klaten, Jawa Tengah

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

[td_block_social_counter facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]
- Advertisement -spot_img

Latest Articles