MPMJATENG.COM – Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM) Pimpinan Ranting Babakan, Kawunganten, Cilacap, berhasil memanen 50 kilogram kepiting bakau dari budidaya menggunakan botol bekas air mineral. Panen ini merupakan yang kedua dari sekitar 1.700 kepiting yang dibudidayakan. Kepiting yang dipanen ini dipilih yang sudah memenuhi syarat dari sisi ukuran.
Sekadar informasi Pimpinan Ranting Muhammadiyah Babakan sendiri merupakan pimpinan ranting baru di Kecamatan Kawunganten. Beberapa petani dan nelayan di wilayah ini kemudian mendirikan JATAM sebagai langkah pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan potensi budidaya kepiting dan perikanan.
Ketua JATAM Babakan, Salsono, menjelaskan bahwa sebanyak 17 anggota JATAM terlibat dalam budidaya ini. Mereka memanfaatkan botol bekas air mineral yang diatur mengapung di kolam. “Di blok barat ada 12 orang, sedangkan di blok timur ada 5 orang,” ujarnya.

Inovasi ini baru berjalan selama tiga bulan, tetapi hasilnya sangat memuaskan. Tingkat keberhasilannya mencapai lebih dari 90 persen.
“Dari total 1.700 kepiting yang dibudidayakan, tingkat kematiannya kurang dari 10 persen. Ini awal yang sangat baik, dan ke depan kami berharap tingkat kelangsungan hidup kepiting bisa mencapai di atas 95 persen,” kata Salsono.
Cara Tradisional Kurang Efektif
Salsono menambahkan, sebelumnya nelayan di Babakan pernah mencoba pembesaran kepiting dengan metode tradisional, yaitu melepaskan kepiting kecil dari alam ke dalam kolam.
Namun, hasilnya kurang memuaskan, dengan tingkat panen di bawah 50 persen. “Metode tradisional memiliki risiko tinggi. Kepiting bisa dimangsa oleh sesamanya saat molting, kabur, atau bahkan diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” jelasnya.
Dengan menggunakan botol bekas air mineral, proses pembesaran menjadi lebih terkontrol dan risiko kematian dapat diminimalkan.
Potensi Pasar yang Besar
Budidaya kepiting ini diharapkan terus berkembang karena potensinya yang besar dalam memberdayakan petani lokal. Selain itu, permintaan pasar untuk kepiting selalu tinggi. “Untuk penjualan, kami tidak mengalami kesulitan. Pembeli sudah banyak yang antre,” ungkap Salsono.
Ketua JATAM Cilacap, Suraswanto menambahkan bahwa kebutuhan kepiting di pasar jauh lebih tinggi dibandingkan pasokannya.
“Harga jualnya juga cukup menarik, berkisar antara Rp 80 ribu hingga Rp 300 ribu per kilogram, tergantung kualitas dan kondisi kepiting. Kepiting bertelur, misalnya, dihargai lebih mahal dibandingkan yang biasa,” jelasnya.
Budidaya kepiting ini merupakan hasil kerja sama antara JATAM Cilacap, Lazismu Jawa Tengah, dan investor dari kalangan warga Muhammadiyah.
Konsep Tumpangsari untuk Maksimalkan Pendapatan
Ketua MPM PWM Jawa Tengah, Ir. Fatchur Rochman, menyoroti tantangan utama budidaya ini, yaitu ketersediaan bibit kepiting, yang saat ini masih bergantung pada tangkapan dari alam.
Untuk mengoptimalkan hasil, para nelayan akan diarahkan menerapkan sistem tumpangsari, yaitu memadukan budidaya kepiting dengan ikan nila dalam satu kolam.
“Kepiting akan berada di dalam botol yang mengapung, sementara ikan nila hidup di bagian bawah kolam,” jelas Fatchur.
Fathur menyebutkan, jika diperlukan, nelayan akan diarahkan untuk mendapatkan skema pembiayaan tanpa bunga atau margin guna mendukung pengembangan usaha mereka.
Memakai tumpangsari ini, nelayan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Ikan nila bisa menjadi penghasilan tambahan dan dijual untuk mendukung program makan bergizi gratis, sementara kepiting tetap menjadi produk utama.