RODA JATAM TERUS BERPUTAR
Oleh: Wahyudi.Nasution
Kang Narjo: Muhammadiyah ikut masuk di isu pangan yang digencarkan Pemerintah juga ya, Pak Bei?
Pak Bei: Walah, Kang, sejak kapan Muhammadiyah ikut-ikutan trend?
Kang Narjo: Nyatanya mau mengadakan Jambore Petani di Kebumen. Itu apa kalau bukan ikut-ikutan?
Pak Bei: Kang Narjo tentu masih ingat sejarah berdirinya Muhammadiyah. Dulu Kyai Dahlan membuat “Geger Surat Al-Ma’un”, menyadarkan masyarakat agar peduli pada kaum miskin, anak yatim, dan anak terlantar. Lalu jamaah mencari anak-anak dan kaum miskin di seputar kota Yogyakarta untuk disantuni, diberi makan, pakaian, dan pendidikan. Maka berdirilah panti asuhan dan sekolah-sekolah Muhammadiyah hingga sekarang.
Kang Narjo: Iya, itu pelajaran Kemuhammadiyahan di SMP dulu. Aku masih ingat.
Pak Bei: Dan itu jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara lho, Kang. Jauh sebelum ada UUD ’45 pasal 34 yang memerintahkan agar ‘Fakir-miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Jadi Muhammadiyah bukan ikut-ikutan, tapi pelopor.
Kang Narjo: Benar juga, ya. Tapi kenapa baru sekarang mau mengadakan Jambore Petani? Seolah-olah Muhammadiyah ikut-ikutan peduli pada petani.
Pak Bei: Kang, Muhammadiyah sejak awal berdiri sudah peduli pada fakir-miskin dan anak yatim melalui pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan tabligh. Pada Muktamar ke-44 di Jakarta tahun 2.000, Muhammadiyah membentuk Lembaga Buruh Tani dan Nelayan (LBTN) yang dinahkodai oleh Dr. Moeslim Abdurrahman (alm.). Lalu, Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 memutuskan LBTN dikembangkan menjadi Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dinahkodai oleh Bang Said Tuhuleley (alm.). Sebagai majelis baru, tentu perlu proses panjang dan tidak mudah dalam pembentukan dan penataan organisasinya dari Pusat, Wilayah, Daerah, hingga Cabang.
Kang Narjo: Iya juga, ya. Di mana-mana juga butuh energi besar untuk mengawali hal yang baru.
Pak Bei: Apalagi kaum mustadh’afin itu amat sangat luas, Kang. Ada di berbagai lini kehidupan. Petani itu baru sebagian. Masih ada kaum buruh di pasar-pasar dan pabrik-pabrik, buruh migran di luar negeri (TKI/TKW), tukang becak, pemulung, kaum difabel, dan jutaan UMKM. Itu semua harus menjadi perhatian MPM.
Kang Narjo: Kita bicara sektor petani dulu saja, Pak Bei.
Pak Bei: Baiklah, Kang. Pada Rakernas di Solo tahun 2018 yang dihadiri oleh seluruh Pengurus dari semua Wilayah, MPM mendeklarasikan berdirinya Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM) sebagai wadah pengorganisasian dan pemberdayaan petani. Kata “Tani” dalam hal ini juga mencakup peternakan, perkebunan, dan perikanan. Sayang sekali di awal tahun 2.020, negeri kita dilanda pandemi Covid-19 sehingga semua aktivitas masyarakat terhenti, termasuk MPM dan gerakan JATAM.
Kang Narjo: Wah iya bener. Waktu itu berlaku “lockdown” di semua kantor dan ruang publik. Perumahan, kampung, dan desa-desa pun ditutup portal demi menghindari penularan virus covid yang ganas. Sepi-nyeyet di mana-mana untuk waktu yang cukup lama.
Pak Bei: Pasca-Muktamar ke-48 di Solo, MPM yang kepemimpinannya diamanahkan lagi pada Pak Nurul Yamin kembali berjuang keras merevitalisasi gerakan JATAM, di samping juga terus menggarap sektor-sektor lainnya yang juga sangat mendesak.
Kang Narjo: Ya sudah, Pak Bei. Saya sudah ‘plong’, sudah lega. Jadi Jambore Nasional I JATAM di Kebumen tanggal 19-21 September 2025 nanti bukan karena Muhammadiyah ikut-ikutan trend yang sedang digencarkan Pemerintah, tapi karena roda jihad kedaulatan pangan memang harus terus diputar dan direvitalisasi. Semoga semua niat mulia dimudahkan Allah SWT. Aamiin.
Pak Bei: Aamiin. Matur nuwun atas atensi Kang Narjo.



