(Belajar dari Kasus Pati)
Oleh: Pak Bei
Anak-anakku, Saudara-Saudaraku…
Kita ini hidup di atas tanah yang sama, memijak bumi yang sama, menghirup udara yang sama. Semua itu — kata Tuhan di kitab suci — adalah milik-Nya. Bukan milikku, bukan milikmu, bukan milik negara. Kita hanya dititipi, disuruh mengelola, menjaga, dan mengembalikan dengan keadaan yang lebih baik.
Tapi manusia punya cara pandang sendiri. Seiring berjalannya waktu, tanah Tuhan itu digambar-gambar di atas kertas, diukur dengan meteran, diberi nomor sertifikat. Lalu muncullah istilah “tanah negara”, “tanah hak milik”, “tanah hak pakai”. Sampai suatu hari kita mendengar seorang menteri berkata: “Seluruh tanah itu milik negara, rakyat hanya hak pakai.”
Nah, kalau logika itu kita telan bulat-bulat, berarti kita ini cuma penyewa di tanah sendiri. Dan setiap tahun, sewa itu harus dibayar dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Kalau telat bayar, kita disebut penunggak. Kalau dianggap “mangkrak” tiga tahun, tanah itu bisa diambil alih negara.
Lalu kita bertanya: siapa yang menentukan tanah itu mangkrak? Apakah sawah yang sedang kita biarkan istirahat untuk memulihkan kesuburan juga mangkrak? Apakah tanah warisan yang belum kita bangun rumahnya juga mangkrak? Dan ketika tanah itu diambil, akan diberikan kepada siapa?
Saya teringat teori Paralelisme Historis Kuntowijoyo: sejarah sering berulang dalam bentuk berbeda. Dulu kerajaan memungut upeti dari rakyat yang mengolah tanah, sekarang negara memungut PBB dari rakyat yang — konon — “hanya” memegang hak pakai. Bedanya tipis: dulu ada prajurit penarik upeti, sekarang ada petugas pajak.
Kasus Pati memberi pelajaran. Rakyat marah bukan karena ingin menghindari pajak. Mereka marah karena merasa kebijakannya tidak adil. PBB dinaikkan tanpa musyawarah, tanpa mempertimbangkan beban hidup orang kecil. Dan ternyata, Pati bukan satu-satunya. Di banyak daerah, PBB melonjak hingga 1.000% atau bahkan ada yang lebih. Bayangkan, dari yang biasanya ratusan ribu menjadi jutaan rupiah per tahun.
Perlu diingat: besaran PBB itu diputuskan melalui Peraturan Daerah (Perda). Artinya, itu adalah hasil keputusan bersama Bupati atau Walikota dengan DPRD. Jadi, kekecewaan rakyat jangan hanya dilempar ke petugas lapangan. Kepala daerah dan anggota DPRD yang mengesahkan Perda itulah yang harus bertanggung jawab di hadapan rakyat yang mereka wakili.
Karena itu, aneh sekali jika DPRD Pati membentuk Pansus untuk melengserkan Bupati, misalnya. Padahal, mereka adalah bagian dari pengambil keputusan itu sendiri. Kalau rakyat kecewa, mestinya DPRD ikut merasa bersalah. Bahkan, kalau mau jujur, mereka yang pertama layak mundur sebelum menunjuk hidung orang lain.
Kalau ini dibiarkan, kita sedang menumpuk bara dalam sekam. Ledakan di Pati bisa menjadi pembuka, disusul ledakan-ledakan serupa di daerah lain. Karena yang terus diperas adalah sumber hidup rakyat kecil, sementara yang punya lahan ribuan hektare sering lolos dari beban yang setara.
Negara memang perlu dana untuk membangun. Tapi jangan lupa, ada banyak sumber lain yang lebih adil. Tanah-tanah luas milik konglomerat yang tidak diolah, atau lahan tidur milik korporasi besar, mestinya lebih layak dipajaki tinggi ketimbang sawah seperempat bau milik petani yang hasil panennya hanya cukup untuk makan dan menyekolahkan anak.
Tanah itu rahim Ibu Pertiwi. Ibu tidak pernah meminta sewa dari anaknya. Ibu memberi makan, minum, dan tempat tinggal dengan cinta. Kalau rahim itu dipajaki dan sewanya dinaikkan terus, anak-anaknya akan tercerabut dari pelukan ibu sendiri. Dan kalau itu terjadi, kita bukan lagi penghuni rumah Tuhan… kita hanyalah tamu di tanah yang seharusnya menjadi rumah kita bersama.
Maka, anakku… kalau suatu saat kau berjalan di pematang sawah atau duduk di serambi rumah, pandanglah tanah di bawah kakimu. Rasakan degupnya, hangatnya, dan aroma hidup yang dia simpan. Jangan buru-buru melihatnya sebagai angka pajak atau pasal undang-undang. Lihatlah dia sebagai titipan Tuhan yang sedang memelukmu.
Kalau kita sudah lupa bahwa tanah ini milik-Nya, dan kita hanya tamu yang diberi amanah, maka kita akan mudah merampasnya dari saudara sendiri. Tapi kalau kita sadar bahwa semua ini adalah rumah bersama, kita akan saling menjaga — bahkan sebelum aturan memaksa.
Bumi ini bukan sekadar alamat di KTP. Ia adalah ibu kita. Dan ibu, tidak akan pernah memungut sewa dari anaknya.