Ada banyak istilah dan ungkapan dalam bahasa Jawa yang sudah lama tidak terdengar diucapkan orang. Anak-anak Jawa sekarang, generasi millenial dan Z, tentu banyak yang tidak paham istilah ‘belo melu seton’, misalnya. Mendengar saja belum pernah.
Beruntung dulu waktu kecil Pak Bei sering ikut nonton pementasan kethoprak melalui siaran TVRI Yogyakarta di TV milik tetangga setiap malam Rabu.
Dari menonton teater tradisional berbahasa Jawa itulah anak-anak generasi Pak Bei mendapatkan banyak tambahan kosa kata bahasa Jawa, di samping juga mengenal sejarah dan para tokoh kerajaan masa lalu.
“Jaman sekarang kok masih ada ‘belo melu seton’ ya, Pak Bei,” kata Kang Narjo yang pagi ini sengaja mampir minta kopi. Biasanya Kang Narjo hanya lewat saja sejak Pak Bei berhenti langganan koran. Tapi pagi ini dia tiba-tiba datang memarkir motor dengan muatan tumpukan koran yang tidak seberapa banyak. Mampir ngopi, begitu katanya.
‘Belo melu seton’ apa maksudmu, Kang?,” tanya Pak Bei memancing Kang Narjo.
“Belo itu anak jaran, kuda. Ingat kan, Pak Bei?”
“Ya ingat, Kang.”
“Melu artinya ikut.”
“Iya paham.”
“Seton dari kata Setu atau Sabtu, nama hari.”
“Iya tahu. Terus apa maksudnya?”
“Dulu di jaman kerajaan, sejak Kediri, Daha, Majapahit, Demak, hingga Mataram, setiap hari Sabtu ada gladen, latihan berkuda yang diikuti oleh para pejabat dan semua prajurit. Mereka mengasah ketrampilan berperang, menunggang kuda sambil melempar tombak atau panah. Masyarakat pun tumplek-blek menonton pertunjukan gratis itu setiap hari Sabtu.”
“Iya, sejarahnya memang begitu.”
“Di antara kuda-kuda yang gagah dipakai gladen, tidak jarang ada beberapa belo, anak-anak kuda, yang ikut berlarian dan melompat-lompat lucu. Pemandangan itu menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak kecil yang ikut menonton.”
“Bisa dibayangkan, Kang, tentu anak-anak kecil lebih suka melihat belo-belo yang lucu itu.”
“Dari situlah maka ada ungkapan ‘belo melu seton’. Itu ungkapan analogis, Pak Bei.”
“Analogis bagaimana maksudmu?”
“Seorang raja kan biasanya punya anak laki-laki yang dipersiapkan untuk meneruskan tahtanya bila raja sudah mangkat, meninggal. Anak itu bisanya dipanggil Kanjeng Pangeran.”
“Raja menyiapkan kader penerusnya ya, Kang.”
“Si Pangeran itu sejak kecil sudah diikutkan gladen, latihan menunggang kuda dan mengunakan senjata. Di hari biasa juga dilatih ikut mengurusi berbagai kegiatan kerajaan. Semacam ‘magang’ kalau istilah jaman sekarang.”
“Sejak kecil sudah ikut berlatih mengurus kerajaan ya, Kang.”
“Iya, Pak Bei. Tapi semua orang bisa memaklumi. Salah pun dimaklumi. Namanya juga Pangeran, anak raja yang memang dipersiapkan akan menjadi raja.”
“Tidak ada orang berani protes ya, Kang.”
“Tidak ada yang protes, Pak Bei. Justru semua pejabat keraton seakan berebut untuk bisa membantu si Pangeran itu. Semua ingin menunjukkan loyalitasnya pada Raja junjungannya. Apapun akan mereka lakukan demi menyenangkan hati Raja dan Pangeran.”
“Tapi itu kan sejarah jaman Kerajaan, Kang. Tentunya di jaman Republik tidak ada lagi.”
“Seharusnya…”
“Seharusnya, bagaimana maksudmu?”
“Setahuku jaman sekarang ini juga masih ada, Pak Bei. Lucu, kan…”
“Di mana?”
“Iyak, Pak Bei ini lho…” kata Kang Narjo sambil senyum-senyum, berdiri, mengulurkan tangannya ngajak salaman, sambil berbisik “Belo melu seton tapi resmi, Pak Bei.”
“Loh, mau ke mana, Kang?”
“Aku kan harus melanjutkan tugas negara.”
“Ooh ya sudah sana. Hati-hati di jalan.”
Kang Narjo langsung menunggang motornya keluar dari Ndalem Pak Bei, mengantar koran pagi ke rumah-rumah pelanggannya yang masih setia.