Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul)
Demokrasi adalah sarana untuk mencapai cita-cita luhur bangsa: keadilan, kemerdekaan, kedaulatan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat dan negara.
Hari Rabu, 27 November 2024 lalu, menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, berlangsung pesta demokrasi serentak berupa pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, serta Gubernur dan Wakil Gubernur di berbagai daerah. Pesta demokrasi ini merupakan wujud nyata dari konsensus nasional yang dirancang oleh para pendiri bangsa.
Jika menilik sejarahnya, perjalanan demokrasi di Indonesia dimulai pada era 1950-an hingga 1960-an. Sistem demokrasi yang dianut kala itu terus berkembang, mulai dari Demokrasi Pancasila hingga Demokrasi Terpimpin. Pada era Orde Baru, demokrasi dijalankan dengan jargon Demokrasi Pancasila berdasarkan UUD 1945. Namun, seiring dengan tumbangnya Orde Baru dan munculnya era Reformasi, kualitas demokrasi kita perlahan mengalami penurunan.
Salah satu penyebabnya adalah sisa-sisa mentalitas kolonialisme yang masih melekat pada segelintir individu demi kepentingan pribadi. Seperti yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif dalam bukunya Bulir-bulir Mujahid, bangsa ini terkadang dipimpin oleh “londo ireng” yang tidak memiliki nyali untuk menghadapi tekanan asing. Ia menekankan pentingnya menjaga harga diri bangsa, sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Mana dadamu? Ini dadaku!” Sebuah seruan untuk menunjukkan bahwa kita adalah bangsa merdeka yang memiliki harga diri.
Dalam konteks ini, seluruh elemen bangsa perlu melakukan introspeksi. Apakah perjalanan demokrasi kita sudah sejalan dengan nilai-nilai UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara? Meski ada berbagai tantangan, kita harus optimis bahwa harapan masih ada. Pilkada adalah salah satu sarana untuk memilih pemimpin yang memiliki naluri kenegarawanan sejati.
Namun, demokrasi tidak hanya soal memilih pemimpin. Demokrasi juga menuntut kita semua—baik eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat keamanan, maupun rakyat—untuk memiliki itikad dan tekad yang luhur demi menjaga persatuan bangsa. Seperti kata pepatah Arab: “Mahma tukhfihi tudhhiruhu al-‘ayyan” (Apa yang kau sembunyikan, sejarah akan mengungkapkannya).
Sebagai umat Islam dan warga Muhammadiyah, kita harus memiliki kejernihan berpikir dan semangat untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur dalam berdemokrasi. Nilai-nilai ini dapat bersumber dari ajaran agama dan prinsip 10 Kepribadian Muhammadiyah.
Beberapa nilai penting yang perlu kita tanamkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah:
Kejujuran
Kejujuran adalah kunci utama yang harus ditanamkan pada setiap individu. Ia menjadi pangkal segala kebaikan, baik bagi pemimpin maupun yang dipimpin.
Keadilan
Keadilan adalah fondasi tata kelola kehidupan, baik dalam ranah pribadi maupun sosial. Tanpa keadilan, sulit membangun harmoni dalam masyarakat.
Supremasi Hukum
Hukum harus menjadi payung yang menegakkan nilai-nilai moral dan keadilan. Dengan hukum yang tegak, kehidupan masyarakat dapat berjalan sesuai norma agama dan prinsip universal.
Jika ketiga nilai ini dijalankan dengan baik, didukung oleh integritas dan akuntabilitas, demokrasi akan tumbuh sehat dan berkualitas.
Agama dan politik, pada hakikatnya, tidak dapat dipisahkan dalam membangun bangsa dan negara yang adil, merdeka, dan berdaulat, baik secara jasmani maupun rohani. Politik bukanlah sesuatu yang kotor, karena bangsa kita tidak menganut sistem kerajaan atau kekhalifahan, melainkan sistem republik.
Oleh karena itu, berdemokrasi harus dilakukan dengan cara yang berbudaya luhur. Dengan begitu, demokrasi dapat menjadi sarana untuk menghadirkan kemakmuran bagi semua rakyat, menuju masyarakat yang penuh rahmat (rahmatan lil ‘alamin).
Penulis: Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan.