Oleh: Wahyudi Nasution (*)
Topeng Kayu adalah naskah drama yang ditulis oleh Kuntowijoyo pada tahun 1968, di era awal Orde Baru, ketika sistem politik dan ekonomi mulai dibangun dengan narasi stabilitas, pembangunan, dan kesejahteraan.
Drama ini pernah dipentaskan oleh Sanggar Shalahuddin UGM dengan apik pada 5-6 September 1990 di Gedung Purna Budaya Yogyakarta. Bertindak sebagai sutradara Goetheng MS Fauzi, ilustrasi musik oleh Sapto Raharjo (alm.), dan penulis naskah Kuntowijoyo (alm.) bertindak sebagai supervisor.
Saat ini, setelah 57 tahun ditulis oleh Kuntowijoyo, drama ini tetap relevan untuk memotret esensi kepalsuan dalam politik, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia yang tidak pernah benar-benar hilang, bahkan semakin mengakar.
Hari ini, rakyat bukan hanya tertipu oleh topeng para pejabat dan politisi, tetapi juga telah menerima dan menikmati kepalsuan itu sebagai kebenaran. Rakyat tidak lagi bisa membedakan mana wajah asli dan mana topeng karena propaganda, pencitraan, dan manipulasi realitas sudah begitu sempurna.
Rakyat Tidak Bisa Lagi Membedakan Wajah Asli dan Topeng
Salah satu tragedi terbesar dalam politik hari ini adalah rakyat semakin sulit membedakan mana pemimpin yang benar-benar tulus dan mana yang hanya berpura-pura.
Politisi yang tampil lugu, tampak ndesit, sederhana, merakyat, dan seolah peduli pada wong cilik, ternyata memiliki kepentingan bisnis besar di balik kebijakan-kebijakannya.
Orang tiba-tiba tersadar betapa pemimpin yang dulu dipuja-pujinya setinggi langit bak ratu adil itu ternyata kini dihujat sebagai perusak demokrasi, pengkhianat reformasi, penjual kedaulatan negara, dan seorang nepotis sejati.
Pejabat yang berbicara tentang nasionalisme dan keberpihakan pada ekonomi rakyat, ternyata hanyalah bagian dari jejaring oligarki yang menguasai sumber daya negara.
Demikian juga lembaga negara yang seharusnya melindungi kepentingan publik, ternyata malah menjadi alat untuk mengamankan kepentingan elite dan oligarki.
Akibatnya, rakyat bukan hanya menjadi korban penipuan sistematis, tetapi juga mulai menikmati ilusi yang diciptakan oleh penguasa. Mereka percaya bahwa selama ekonomi tampak stabil, harga kebutuhan pokok terlihat terkendali, dan ada janji-janji besar tentang masa depan, maka semuanya baik-baik saja, padahal di baliknya, oligarki yang mengendalikan segalanya.
Politik Pencitraan: Membentuk Realitas Palsu Tapi Menyenangkan
Media sosial dan propaganda digital semakin membuat rakyat terjebak dalam kepalsuan. Jika dulu politik pencitraan hanya dilakukan lewat media cetak dan televisi, sekarang rakyat bisa disuguhi narasi yang dikemas secara digital, interaktif, dan penuh emosi.
Kebijakan yang gagal dikemas dengan foto-foto dan video yang memperlihatkan seolah-olah semua baik-baik saja. Ketika ada krisis ekonomi, pejabat lebih sibuk membuat konten yang menarik daripada memberikan solusi nyata. Buzzer dan influencer dipakai untuk membangun opini publik sehingga kritik terhadap pemerintah selalu dikerdilkan atau dibelokkan.
Hasilnya, politik pencitraan bukan hanya sekadar strategi komunikasi, tetapi telah menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif. Rakyat semakin sulit membedakan mana realitas dan mana propaganda.
Realitas Palsu, Kebijakan Yang Hanya Menguntungkan Oligarki
Kebijakan ekonomi yang dijalankan selama ini sering kali hanya menjadi alat untuk memperkaya segelintir elite. Kasus impor beras, misalnya, menunjukkan bagaimana kebijakan pangan tidak didasarkan pada kebutuhan rakyat, tetapi lebih pada kepentingan kartel dan importir besar.
Demikian pada program-program yang bertopeng ‘subsidi’ seperti BBM Subsidi, Pupuk Subsidi, atau Rumah Subsidi, atau Bansos dan BLT, itu bukan benar-benar untuk membantu rakyat miskin dan petani, tetapi hanyalah cara oligarki melipatgandakan omset dan laba penjualan.
Kasus beberapa industri garment yang pailit hingga mengakibatkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan, membuktikan bahwa negara tidak berpihak pada industri dalam negeri, melainkan lebih memilih membuka pasar bagi produk luar/impor.
Krisis energi dan BBM selalu dikemas sebagai persoalan global, padahal ada peran elite yang mengambil keuntungan dari naik-turunnya harga energi. Terbongkarnya kasus Pertamax oplosan baru-baru ini menunjukkan betapa jahat dan rakusnya para direksi perusahaan BUMN terbesar itu. Selama 5 tahun mereka leluasa mencuri keuangan negara dan menipu rakyat sebagai pengguna Pertamax.
Terbongkarnya kasus pagar laut di Tangerang, Serang, Bekasi, Sidoarjo, dan di banyak tempat lainnya semakin menunjukkan betapa lemahnya negara ketika berhadapan dengan oligarki ekonomi. Anehnya, para penyelenggara negara justru menjadi subordinasi dari ulah rakus para konglomerat itu.
Di balik semua ini, yang dikorbankan tetap rakyat kecil. Buruh di-PHK, laut dipagari dan dikapling-kapling, petani dipaksa bersaing dengan produk impor, rakyat dipaksa membeli Pertamax oplosan, dan UMKM dibiarkan berguguran karena tak mampu bersaing dengan produk impor, tetapi para pejabat tetap berbicara tentang “pertumbuhan ekonomi yang stabil” dan “fundamental ekonomi yang kuat.”
Rakyat Tidak Lagi Kritis: Antara Apatis dan Pasrah
Dulu, di masa Kuntowijoyo menulis Topeng Kayu, rakyat masih aktif dalam pergerakan dan diskusi kritis. Namun sekarang, kebanyakan rakyat justru memilih untuk pasrah atau apatis.
Ada dua hal yang terjadi:
Pertama, sebagian rakyat merasa tidak ada gunanya melawan karena sistem sudah dikendalikan oleh segelintir elite. Pasrah dengan keadaan.
Kedua, sebagian lagi justru menikmati kepalsuan yang ada karena ilusi kesejahteraan masih bisa dirasakan meski hanya sementara. Maka, pilihannya adalah “ikut bermain” dalam ‘pertunjukan topeng kolosal’ meskipun hanya berperan sebagai figuran atau tim hore-hore untuk mendapatkan sekadar remah-remah.
Keduanya sama berbahayanya. Jika rakyat tidak lagi kritis, maka oligarki bisa semakin bebas menguasai ekonomi dan politik tanpa perlawanan. Pun jika rakyat menikmati kepalsuan, maka mereka akan semakin jauh dari kesadaran bahwa mereka sebenarnya sedang dieksploitasi.
Apakah Rakyat Masih Bisa Melepaskan Topeng?
Kuntowijoyo dalam Topeng Kayu sebenarnya sudah memperingatkan bahwa ketika kepalsuan dibiarkan terus-menerus, maka rakyat akan kehilangan kesadaran tentang kebenaran.
Hari ini, kita melihat bagaimana skenario itu benar-benar terjadi. Rakyat tidak hanya tertipu, tetapi juga sudah tidak lagi ingin mencari tahu siapa yang sebenarnya jujur dan siapa yang hanya bertopeng.
Pertanyaannya sekarang: Apakah rakyat masih bisa melepaskan topeng itu, atau mereka akan terus hidup dalam kepalsuan yang nyaman?
(*) Pegiat pemberdayaan masyarakat dan seni-budaya, tinggal di Klaten, Jawa Tengah.