26.2 C
Jakarta
Thursday, April 24, 2025
spot_img

Dari Kearifan Lokal ke Budaya Pencitraan: Distorsi Nilai-Nilai Budaya Nusantara

Oleh: Wahyudi Nasution (*)

Budaya Nusantara memiliki banyak filosofi luhur yang mengajarkan keseimbangan antara ucapan, tindakan, dan kehormatan diri.

Salah satu yang paling terkenal adalah filosofi Jawa “Ajining diri saka lati, ajining raga saka busana”, yang berarti harga diri seseorang tergantung pada tutur kata, sedangkan kehormatan fisik bergantung pada penampilan.

Filosofi ini sebenarnya mengajarkan bahwa kata-kata harus mencerminkan kejujuran, dan penampilan harus mencerminkan martabat.

Namun, dalam dunia modern yang didominasi oleh kapitalisme, materialisme, dan hedonisme, nilai-nilai ini mengalami distorsi serius.

Kata-kata kini lebih sering digunakan sebagai alat pencitraan, bukan sebagai ekspresi kejujuran.

Penampilan luar menjadi standar utama penghormatan sosial, bukan lagi karakter dan integritas. Akibatnya, budaya lips service, konsumtivisme, dan korupsi semakin merajalela, menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Kapitalisme dan Budaya Lips Service

Kapitalisme modern sangat menekankan branding dan citra, baik dalam bisnis maupun politik. Dalam sistem ini, siapa yang bisa berbicara paling meyakinkan dan membangun citra terbaik, dialah yang memenangkan kompetisi.

Konsep ini menyusup ke dalam budaya politik dan birokrasi kita, di mana banyak pejabat dan pemimpin lebih sibuk membangun narasi dan retorika daripada benar-benar bekerja untuk rakyat.

Filosofi “Ajining diri saka lati” yang seharusnya mengajarkan bahwa harga diri seseorang bergantung pada kejujuran dalam berucap, kini berubah menjadi sekadar seni manipulasi kata-kata.

Kita melihat bagaimana politisi dengan mudah memberikan janji-janji manis, berbicara tentang keadilan dan kesejahteraan, tetapi tindakannya berbanding terbalik. Budaya pencitraan lebih diutamakan daripada substansi, dan masyarakat pun terbiasa dengan permainan ini.

Akibatnya, masyarakat juga mulai mengadopsi pola yang sama. Banyak orang lebih fokus pada bagaimana mereka terlihat dan terdengar di mata orang lain daripada bagaimana mereka benar-benar bertindak. Media sosial semakin memperparah fenomena ini, di mana citra menjadi segalanya, dan kejujuran menjadi sesuatu yang sekunder.

Materialisme dan Hilangnya Makna Kehormatan

Dalam budaya kapitalisme dan materialisme, seseorang dihargai berdasarkan apa yang mereka miliki, bukan siapa mereka sebenarnya. Filosofi “Ajining raga saka busana” yang awalnya mengajarkan bahwa penampilan harus mencerminkan kehormatan diri, kini justru mendorong budaya konsumtivisme.

Orang lebih dihormati jika memiliki mobil mewah, rumah megah, pakaian branded, atau gaya hidup glamor, meskipun semua itu diperoleh dengan cara yang tidak jujur.

Ini menjadi salah satu pemicu budaya korupsi di semua lini, karena banyak orang yang merasa harus tampil “berkelas” agar dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Orang berlomba-lomba untuk memiliki, menguasai, dan melipatgandakan asset.

Dengan menguasai asset, segalanya bisa dibeli, termasuk hukum dan kepercayaan publik. Orang justru akan dianggap bodoh bila tidak kaya dan tidak mau ajur-ajer dalam perlombaan ini.

Di berbagai budaya Nusantara, kita sebenarnya memiliki nilai-nilai yang menekankan keseimbangan antara kehormatan dan kesederhanaan. Misalnya:

“Siri’ na pacce” (Makassar/Bugis) mengajarkan bahwa harga diri seseorang harus dijaga dengan integritas, bukan dengan harta benda.

“Peu ucap peu ilée” (Aceh) mengajarkan bahwa ucapan dan tindakan harus selalu selaras, bukan sekadar lips service.

“Tutur kato membangun dusun” (Palembang) menekankan bahwa kata-kata harus digunakan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi.

Namun, nilai-nilai ini semakin terkikis oleh budaya materialisme, di mana orang hanya dihormati jika memiliki simbol-simbol kekayaan.

Hedonisme dan Dekadensi Moral

Dalam masyarakat modern yang semakin hedonis, kepuasan instan menjadi tujuan utama hidup. Orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan, pengakuan sosial, dan kenikmatan duniawi, tanpa peduli dengan cara mencapainya. Apapun akan dilakukan demi mendapatkan kehormatan semu.

Nilai-nilai kearifan lokal yang mengajarkan kesederhanaan, kerja keras, dan kehormatan diri semakin terpinggirkan. Kini, banyak orang lebih mengutamakan kemewahan, hiburan, dan kenikmatan instan. Kita melihat bagaimana selebriti, influencer, dan figur publik lainnya lebih dihormati daripada para guru, ilmuwan, ulama, atau tokoh masyarakat yang benar-benar berkontribusi bagi bangsa.

Budaya ini akhirnya menciptakan generasi yang lebih mementingkan tampilan luar daripada substansi, lebih sibuk dengan pencitraan daripada membangun karakter.

Kembali ke Nilai-Nilai Luhur

Jika kita ingin keluar dari jebakan kapitalisme, materialisme, dan hedonisme yang merusak sendi-sendi kehidupan, kita harus mengembalikan filosofi budaya Nusantara ke makna aslinya:

  • Kata-kata harus selaras dengan tindakan. Jangan hanya berbicara baik, tetapi juga berbuat baik.
  • Penampilan bukan segalanya. Kehormatan sejati bukan dari pakaian mahal, tetapi dari integritas dan moralitas.
  • Hentikan budaya pencitraan. Hormatilah orang bukan karena kata-kata manis atau kekayaan mereka, tetapi karena nilai-nilai yang mereka pegang teguh.
  • Jangan terjebak dalam budaya konsumtif. Harta bukan tujuan hidup, tetapi alat untuk kebaikan bersama.
  • Kembangkan kembali nilai-nilai gotong royong. Budaya individualisme yang lahir dari kapitalisme harus diimbangi dengan semangat kebersamaan dan keadilan sosial.
  • Jika kita bisa menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, maka kita bisa membangun kembali masyarakat yang lebih jujur, berintegritas, dan tidak terjebak dalam budaya kepalsuan dan korupsi.

Saatnya kembali pada fitrah, pada esensi, bukan sekadar simbol.

(*) Pegiat Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerhati Seni-Budaya, tinggal di Klaten, Jawa Tengah

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
22,300SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles