29.6 C
Jakarta
Monday, March 17, 2025
spot_img

Selamat Hari Tani 2024

Bukan Lek Nardi kalau omongannya tidak gemblung dan kementhus. Suaranya keras dan isinya kritis, namun diksinya sederhana bahkan terkesan ndesit. Tapi gak apa-apa, ora masalah. Pak Bei malah suka ngobrol dengan model petani yang natural begini. Gak mriyayeni babar blas, tanpa suba-sita. Apa adanya.

Kedatangan Lek Nardi malam ini tanpa janjian sebelumnya, tanpa kangsenan. Tiba-tiba mak-bedunduk sudah ada di depan teras nDalem Pak Bei sambil uluk salam dengan suaranya yang khas, keras.

Tentu saja Pak Bei yang sedang asyik membalas pesan-pesan WA di hpnya agak kaget juga. Suara Lek Nardi hampir seperti petir tadi sore yang tetiba menggelegar mengantar turunnya gerimis dan hujan hingga membubarkan anak-anak yang sedang bermain kasti di halaman.

“Aku mau minta kopi, Pak Bei. Biar perut agak hangat,” kata Lek Nardi sambil ikut duduk di kursi sedan.

Pak Bei sudah hafal, itu memang gaya Lek Nardi. Awalnya minta kopi, tapi terus minta rokok, lalu ngobrol ngalor-ngidul sambil klepas-klepus menghisap kretek sebatang demi sebatang. Pak Bei pun langsung ke dapur.

Tak berapa lama kemudian, dua gelas kopi sudah tersaji di kursi. Obrolan dengan Lek Nardi di teras nDalem Pak Bei pun dimulai.

“Aku mau tanya, Pak Bei.”

“Tanya apa, Lek?”

“Sebagai aktivis gerakan petani, kenapa belum pernah kudengar Pak Bei ngajak para petani ngibarkan bendera setengah tiang?,” tanya Lek Nardi.

“Loh, kenapa harus mengibarkan bendera setengah tiang?,” tanya balik Pak Bei sambil menyembunyikan rasa kagetnya.

“Wah lha ini, ini contoh aktivis yang kurang kritis dan kurang berani. Pantas saja petani-petani juga jirih, takut, tidak berani mencoba hal-hal baru untuk meningkatkan taraf hidupnya.”

“Jindul tenan Lek Nardi ini. Ngece,” kata Pak Bei dalam hati.

“Memangnya ada masalah apa to, Lek?,” tanya Pak Bei.

“Pak Bei pasti tahu, besok Selasa tanggal 24 September itu Hari Tani.”

“Lah iya, terus apa masalahnya?”

“Namanya hari raya petani kan seharusnya istimewa bagi para petani. Tapi nyatanya tidak, Pak Bei.”

“Maksudmu bagaimana, Lek Nardi?”

“Petani tetap saja ngenes, susah hidupnya. Kerjanya berat, tapi hasilnya tidak dihargai dengan layak. Harga gabah agak bagus sebentar saja, Pemerintah langsung datangkan beras impor. Alasannya demi menjaga stok pangan. Itu baru beras, Pak Bei. Belum yang lain,” Lek Nardi menghisap kretek di tangannya. “Coba sesekali lihatlah di pasar-pasar, Pak Bei, ” Lek Nardi melanjutkan, “betapa bawang merah impor, bawang putih impor, kedelai impor, gandum impor, dan kacang impor memenuhi lapak-lapak pasar tradisional.”

“Lek Nardi, nyatanya hasil pertanian kita kan memang belum bisa mencukupi kebutuhan makan 230-an juta penduduk Indonesia? Maka solusinya harus impor, impor dari India, Vietnam, Kamboja, Thailand, Ukraina, Amerika, dan sebagainya.”

“Itu karena tidak ada yang sungguh-sungguh mencari solusi, Pak Bei.”

“Maksudmu bagaimana, Lek?”

“Impor itu kan solusi jangka pendek saja, Pak Bei. Sekedar mengatasi masalah saat ini. Kulihat belum ada yang sungguh-sungguh berupaya menemukan solusi soal pangan untuk jangka panjang, solusi yang adil yang tidak merugikan petani. Kalau lagi kampanye saja walaah dho koyo yak-yako ngumbar janji. Sudah dapat kursi, lupa semua janjinya.”

“Lek Nardi ini mbokya agak sabar, to. Pemilu memang sudah selesai. Pilpres sudah ada pemenangnya. Tapi serah-terima jabatan Presiden kan belum terjadi. Pemerintahan sekarang ini masih yang lama. Tunggu sik.”

“Dugaanku besok juga masih sama saja, Pak Bei. Para pedagang atau importir yang ngawu-awu, semakin berjaya. Petani kita semakin menderita. Maka mestinya besok pagi, pas Hari Tani 2024, seluruh petani kita ajak mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, sebagai tanda bahwa petani sedang berduka.”

Pak Bei sadar, ngobrol dengan Lek Nardi memang harus banyak mengalah. Ngomong dengan siapapun, dia memang selalu harus menang. Meski kadang tidak bermutu, tapi minimal dia menang banter suarane, keras suaranya. Mungkin itu karena terbawa kebiasaan ngobrol dengan sesama petani yang berjarak antar petak sawah, saling berjauhan, saling berteriak.

Obrolan pun berakhir karena Lek Nardi ternyata pas jadwal ronda. Teman-temannya seregu tampak sudah mulai keliling dari rumah ke rumah mengambil jimpitan berupa koin 500 rupiah. Lek Nardi pun pamitan dan bergabung dengan teman-temannya.

Wahyudi Nasution
Anggota Bidang Pertanian Terpadu MPM PP Muhammadiyah

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
22,300SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles