Oleh: Rumini Zulfikar (GusZul)
Penasehat PRM TROKETON, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten
Setiap daerah memiliki budaya dan kebiasaan yang unik, berbeda satu sama lain.
Pada Ahad pagi menjelang siang, Pak Karta dan Bu Karta memutuskan untuk mengunjungi kerabat mereka yang baru saja menggelar hajatan ngunduh mantu sehari sebelumnya. Mereka berjalan kaki menuju rumah Pak Salim, yang jaraknya sekitar 250 meter dari rumah mereka.
Sesampainya di halaman rumah Pak Salim, seorang bapak-bapak menyapa dari arah jendela.
“Mbok ya jalan itu bareng, Pak. Jangan yang satu di depan, yang satu di belakang!” ujar Pak Jadi sambil tersenyum.
Pak Karta kaget dan bertanya, “Lho, kok tahu, Mas?”
“Ya tahu, wong ada kaca jendela di sini!” balas Pak Jadi sambil tertawa.
“Oh iya ya,” sahut Pak Karta ikut tersenyum.
Setelah itu, Pak Karta dan Bu Karta memberi salam kepada tuan rumah.
“Assalamu’alaikum,” sapa mereka.
“Wa’alaikumussalam, Pakde, Budhe. Monggo, silakan masuk,” jawab Pak Salim dan Bu Salim dengan ramah.
Mereka dipersilakan duduk di atas tikar yang telah digelar di teras. Di sekeliling mereka terlihat pernak-pernik pernikahan dan buah tangan dari pihak besan.
“Monggo, Budhe, Pakde. Silakan duduk dulu,” ucap Bu Salim sambil menyodorkan makanan dan menyiapkan minuman untuk tamu mereka.
“Alhamdulillah, hajatan kami sudah selesai, Pakde,” kata Bu Salim sambil tersenyum lega.
Bu Salim kemudian bercerita bahwa pada hari acara, besannya sempat dilarikan ke IGD rumah sakit. “Untungnya, besan kami diperbolehkan rawat jalan, jadi semuanya tetap berjalan lancar. Oh ya, ternyata rumah transit waktu itu adalah rumahnya Ibu Rustringsih, mantan Bupati Kebumen dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2009–2013,” jelasnya.
Pak Karta kagum, “Wah, berarti besan jenengan memang tokoh terkenal ya. Apalagi Pak Hasan itu juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah di Kebumen.”
“Iya, Pakde. Ini saja oleh-oleh dari besan banyak sekali. Ada terong, ceme, gula Jawa, bawang merah, bawang putih, beras, minyak goreng, hingga snack lanting. Sampai saya bingung membalasnya,” cerita Bu Salim sambil tertawa kecil.
“Wah, itu rezeki, Bu. Memang adat di desa, kan,” ujar Pak Karta sambil tersenyum.
Bu Salim melanjutkan, “Iya, Pakde. Kami juga bersyukur, anak kami bisa menikah dengan lancar. Bahkan, anak kami sampai membelikan kaos sebagai tanda terima kasih untuk para tetangga yang membantu acara.”
“Alhamdulillah, Bu. Anak seperti itu pasti menjadi kebanggaan orang tua. Yang penting, semuanya harus disyukuri,” balas Pak Karta.
Pak Karta kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka, yakni untuk ikut berbahagia atas pernikahan putra-putri Pak Salim dan Bu Salim. “Semoga kedua mempelai menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, dan mendapatkan apa yang diharapkan. Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khair,” doanya.
Pak Salim dan Bu Salim mengamini dengan tulus. Sebelum pamit, Bu Salim sempat memberikan oleh-oleh kepada tamunya.
“Budhe, ini dibawa ya.”
“Wah, kok repot-repot, Bu,” kata Bu Karta.
Setelah dirasa cukup, Pak Karta dan Bu Karta berpamitan.
“Sehubungan sudah selesai, kami mohon pamit ya, Pak, Bu,” ucap Pak Karta.
Dalam perjalanan pulang, Pak Karta merenung. Dari perbincangan santai tadi, ia merasa mendapat banyak pelajaran.
Pertanian memang menjadi sektor yang memberikan dampak luas, bahkan di tengah badai ekonomi. Hasil tani sering menjadi simbol berbagi dan syukur, seperti buah tangan yang mereka terima hari ini.