Oleh: Wahyudi Nasution (*)
Rakyat tidak punya keahlian merangkai kata seperti politisi. Mereka tak terbiasa menyiapkan teks pidato lengkap dengan metafora, tidak pula pandai melempar jargon atau retorika yang memukau. Itu semua urusan mereka yang duduk di kursi empuk, tersorot kamera, berlimpah protokol, dan fasih mengutip ayat, pasal, maupun semboyan kebangsaan.
Tetapi rakyat punya sesuatu yang tak dimiliki para politisi: mata yang terus terbuka, telinga yang tajam, perasaan yang tulus, dan intuisi yang jernih. Dari situlah lahir kesadaran bahwa mereka telah ditipu, dikhianati, dan dijadikan obyek permainan kekuasaan.
Politisi boleh menyusun strategi citra. Boleh juga berulang kali berkata “maaf” setelah menyakiti. Tetapi rakyat tahu, kata-kata itu tak lebih dari kosmetik yang menutupi wajah culas. Mereka bisa menahan lapar, bisa bertahan dalam kemiskinan, tapi mereka tak bisa lagi menahan rasa dipermainkan.
Dan dari kesadaran itulah muncul satu kata yang mewakili jutaan hati: AMUK.
Amuk Sebagai Puncak Keputusasaan
Amuk bukanlah pilihan sadar rakyat, melainkan luapan ketika semua jalan sudah buntu. Saat harga kebutuhan pokok naik, pajak PBB dinaikkan berlipat-lipat, subsidi dicabut, profesi guru dan dosen dipandang sebagai beban anggaran negara, sementara para pejabat dan wakil rakyat justru berjoget-joget ria di halaman Istana Negara dan ruang sidang Gedung Senayan karena kegirangan menyambut kenaikkan tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan. Maka, hanya amuk menjadi bahasa terakhir yang tersisa.
Amuk bukan sekadar marah. Ia adalah akumulasi dari ketidakadilan yang menumpuk, dari luka yang dibiarkan bernanah dari pengkhianatan yang dilakukan terang-terangan.
Politisi, Retorika, dan Rakyat Yang Bosan Kata-Kata
Politisi hidup dari kata-kata. Mereka pandai memoles janji, menenangkan massa dengan retorika, memutarbalikkan fakta dengan bahasa yang rapi. Tetapi rakyat tidak makan kata-kata. Mereka makan beras yang harganya terus naik, mereka membayar listrik dan BBM yang kian mencekik, mereka membayar sekolah anak dan obat yang semakin mahal.
Maka, ketika perut lapar, ketika hidup makin berat, retorika tidak lagi punya daya. Bansos, BLT, dan PKH pun tak akan mampu meredam kegundahan dan kemarahan rakyat. Kata “maaf” kehilangan makna. Yang ada hanyalah amarah yang mencari jalan keluar, seperti air yang terus merembet ke mana-mana di sela-sela butiran tanah, pasir, dan bebatuan.
Bahasa Terakhir: Amuk
Amuk adalah bahasa yang tak bisa dipoles. Ia keras, brutal, tak beraturan. Ia membakar gedung-gedung DPRD, melempar kursi kekuasaan, merusak dan menjarah benda-benda apa saja simbol kemewahan, dan mengguncang kota-kota. Amuk tak peduli lagi siapa pejabat yang bersembunyi di balik meja rapat.
Inilah bahasa yang dipilih rakyat ketika semua bahasa lain sudah tak didengar.
Dan ketika rakyat mulai berbicara dengan bahasa amuk, politisi seharusnya sadar: kekuasaan mereka sedang digugat, bukan dengan kata, tapi dengan api.
Seruan Moral: Bertobatlah, Sebelum Terlambat
Wahai para penguasa, bertobatlah. Rakyat bisa memaafkan salah yang jujur, tapi tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan yang disengaja. Hentikan gaya hidup mewah, hentikan kebijakan yang menyakiti, hentikan permainan kata-kata yang meremehkan akal sehat. Masih ada waktu untuk kembali ke jalan amanah. Masih ada waktu untuk benar-benar menjadi pejabat pelayan rakyat dan wakil rakyat, bukan wakil dari kepentingan keluarga dan kelompokmu yang sempit.
Tetapi bila seruan ini diabaikan, bila keangkuhan tetap dipertahankan, bila rakyat terus dipermainkan, maka jangan salahkan siapa pun bila sejarah kembali berulang. Apakah bangsa ini harus menunggu Reformasi Jilid 2 agar kesadaran itu lahir?
Sejarah sudah memberi pelajaran: kekuasaan yang lalim pasti tumbang. Dan tak ada tembok yang mampu menahan gelombang rakyat yang bersatu.
Bertobatlah sebelum terlambat. Dengarlah suara rakyat sebelum berubah menjadi badai yang meluluhlantakkan. Karena bila rakyat sudah berkata dengan bahasa amuk, maka semua retorika dan permintaan maaf tak lagi berarti.
*Pengurus Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah



