“Pak Bei, rupanya bangsa kita ini memang sudah kebangetan dzalimnya, ya,” Kang Narjo mengawali obrolannya setelah nyeruput kopi yang baru disuguhkan Pak Bei.
“Dhalim? Memangnya ada apa, Kang?,” Pak Bei memancing sahabatnya bercerita. Pak Bei sudah hafal, loper koran senior satu ini memang unik. Dia punya daya rekam yang bagus dari berita-berita koran yang diantarkannya ke pelanggan setiap pagi. Analisis kritis, sering tak terduga, dan sok usil.
“Pemerintahan baru Presiden Prabowo sedang berjuang keras mewujudkan janji-janji politik di 100 hari pertamanya
Tiba-tiba sudah dihadang pageblug lagi ini.”
Sudah lama Pak Bei tidak mendengar istilah pageblug. Itu kosa kata bahasa Jawa, merujuk pada suatu situasi yang sangat genting dan mencekam, biasanya berupa wabah penyakit yang meluas dengan cepat dan menyebabkan dampak buruk yang luar biasa besar pada masyarakat. Istilah ini juga sering dihubungkan dengan bencana atau musibah yang terjadi secara merata, menimbulkan rasa takut yang mendalam dan kekhawatiran yang menyeluruh di tengah masyarakat. Pandemi covid-19 yang berdampak luar biasa itu dapat disebut pageblug. Tetapi, dulu istilah itu bahkan nyaris tak terdengar, kalah populer dengan istilah pandemi. Semua orang paham istilah pandemi.
“Ada pageblug apa sekarang, Kang?”
“Penyakit Mulut dan Kuku alias PMK mewabah lagi sejak November lalu, Pak Bei. Ribuan sapi di Jateng, Jatim, dan DIY sudah kena. Ratusan ekor mati. Ada yang sempat disembelih dan bisa dimakan dagingnya, tapi juga banyak yang mati dan harus dikubur, tidak bisa dimakan. Beberapa Kabupaten terpaksa menutup pasar sapinya. Lockdown.
“Wabah PMK datang lagi, Kang? Kasihan para petani, ya. Itu kan tabungan mereka yang sewaktu-waktu bisa diuangkan bila butuh biaya besar.”
“Betul, Pak Bei. Itu yang sapi pedaging. Biasanya para petani punya 2-3 ekor di kandang sebagai tabungan. Lha yang sapi susu atau sapi perah? Itu penghidupan sehari-hari para peternak. Kalau wabah PMK tidak bisa teratasi, itu akan jadi pageblug. Dampaknya akan sangat banyak.”
“Apa Pemerintah belum mengambil langkah-langkah penanganan dan pengendalian to, Kang? Pasti sudah, kan?”
“Ya sudah, Pak Bei. Sudah digencarkan vaksinasi pada ribuan sapi di berbagai daerah.”
“Berarti sudah aman to, Kang?”
“Aman bagaimana? Stok vaksin di Pemerintah tidak mencukupi untuk seluruh populasi sapi yang ada. Stok terbatas. Kita tidak tahu apakah vaksin itu memang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri dan harus impor dari negara lain.”
“Terus, Kang…”
“Di sisi lain, petani-peternak kita juga tidak gampang digiring supaya memvaksin sapinya dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan karena mahal harganya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ternyata banyak juga petani yang tidak percaya dengan vaksin PMK. Bahkan, mereka curiga PMK itu hanya akal-akalan para pemain bisnis besar persapian. Sapi-sapi petani kita sengaja tidak boleh berkembang agar mereka dapat leluasa mengimpor sapi dari Australia dan Selandia Baru dengan alasan untuk menucukupi kebutuhan daging dan susu sapi.
“Petani kita kok sampai berpikiran begitu ya, Kang?”
“Ya bagaimana petani gak curiga, Pak Bei? Kabanya banyak sapi setelah divaksin malah jadi melemah dan beberapa hari kemudian wassalam, mati.”
“Masa begitu, Kang?”
“Nyatanya kabar itu yang berkembang di desa-desa kok, Pak Bei. Makanya banyak petani enggan dan menolak himbauan vaksin PMK.”
“Mungkin itu problem komunikasi Pemerintah pada petani, Kang. Kurang efektif, kurang persuasif.”
“Tampaknya memang begitu, Pak Bei. Gak seperti jaman pandemi covid-19. Semua instansi gugur-gunung melakukan sosialisasi dan vaksinasi. Sekarang sosialisai vaksin PMK cuma dari Dinas Pertanian, khususnya Bagian Peternakan dan melibatkan para dokter hewan dan mantri hewan. Tidak optimal dan belum efektif. Setiap hari kita mendengar kabar sapi-sapi ndeprok karena PMK.”
“Menurut Kang Narjo bagaimana mestinya yang dilakukan Pemerintah?”
“Lakukan gugur-gunung vaksinasi.”
“Caranya?”
“Libatkan semua Babinsa dan Babinkamtibmas agar para petani manut, mau divaksin sapinya.”
“Maksudmu petani dibuat takut seperti jaman Orde Baru dulu, Kang?”
“Demi menyelamatkan keadaan ya gak apa-apa, Pak Bei.”
“Gak bisa, Kang. Jaman sudah berubah. Rakyat tidak bisa lagi ditakut-takuti dan diancam-ancam. Pasti mereka akan melawan, bagaimana pun caranya.”
“Melawan pakai apa? Lha wong mereka pasti eman kalau sapi-sapinya ngglethak tidak tertolong, kok.”
“Kang, sekarang semua orang pegang gadhet, lho. Kalau ada aparat yang main ancam, bisa direkam dan diviralkan. Ambyar kabeh, Kang.”
“Iya juga, ya. Atau coba Pemerintah melibatkan pada Kyai dan Ustadz. Mereka kan punya bahasa yang dapat diterima umat.”
“Sayangnya Kyai dan Ustadz banyak yang kurang peka terhadap masalah-masalah riil pada umatnya, Kang. Tentu mereka kesulitan mau ngomong apa tentang PMK.”
“Pak Bei mungkin pernah mendengar cerita ini. Dulu, ketika Gunung Merapi meletus tahun 2010 dan wedus gembel meluluh-lantakkan apa saja di lereng Merapi, banyak sapi milik petani-peternak yang jadi korban. Menurut sumber terpercaya, setelah dihitung, ternyata jumlah sapi yang mati ada 2,5% dari seluruh populasi sapi di kawasan lereng Gunung Merapi.”
“Apa hubungannya, Kang?”
“Pak Bei ini bagaimana, to? Masa gak mudheng. Tuhan memerintahkan kita mengeluarkan zakat 2,5% dari kekayaan kita, kan.”
“Ooh maksudmu para petani-peternak perlu disadarkan agar mau menmbayar zakat 2,5% dari nilai/harga sapi-sapinya, begitu?”
“Mungkin itu salah satu solusi yang bisa kita tawarkan, Pak Bei.”
“Bagus itu. Aku mathuk, setuju.”
“Tapi para Kyai dan Ustadz memang perlu belajar dulu memahami problem-problem riil umatnya, Pak Bei? Mereka perlu tahu apa itu PMK. Mereka perlu tahu cara merawat sapi, menjaga kebersihan kandang, dan sebagainnya. Itu penting agar bahasanya bisa lebih jangkep dan fasih sehingga digugu para petani. Tidak asal membacakan dalil terkait kewajiban zakat.”
“Kita tunggu saja dulu apa langkah Pemerintah untuk mengatasai keadaan ini, Kang. Semoga ini penyakit biasa yang bisa diatasi, bukan pageblug.
“Aamiin. Ya sudah aku pamit dulu, Pak Bei. Sudah malam. Makasih untuk kopi dan waktunya, ya.”
Kang Norjo meninggalkan Ndalem Pak Bei dengan motor Supra-X andalannya. Loper koran senior yang kritis, sok usil, dan bersahaja.
Wahyudi Nasution
Anggota Bidang Pertanian Terpadu MPM PP Muhammadiyah