29.6 C
Jakarta
Monday, March 17, 2025
spot_img

Tidak Ada Makan Siang Gratis

Sebenarnya Pak Bei mau langsung istirahat sesampai di rumah. Sejak bakda ashar mengikuti pembekalan calon pembimbing/karom haji 2025 di KBIHU Arafah Klaten hingga pukul 21.00 kali ini sungguh terasa lelah.

Bayangan Pak Bei begitu sampai di rumah bisa langsung ngglethak di kasur, tidur nyenyak hingga menjelang shubuh, gagal total. Baru saja memarkir mobil di garasi, dilihatnya ternyata ada Kang Narjo sudah duduk teronggok di kursi teras nDalem Pak Bei.

“Sudah lama, Kang?” tanya Pak Bei setelah menyalami sahabatnya.

“Lumayan, Pak Bei. Ini kopiku tinggal separoh,” jawab Kang Narjo sambil nunjuk gelas kopi di depannya.

“Sebentar aku ganti baju dulu ya, Kang.”

“Monggo, Pak Bei. Santai saja.”

Pak Bei paham, setiap kali Kang Narjo si loper koran senior itu datang, pasti ada tema yang ingin diobrolkan. Maklumlah, sudah hampir setahun ini Pak Bei berhenti berlangganan koran karena merasa mubadzir gak pernah sempat membaca koran. Asupan berita aktual sudah terpenuhi dari media online. Jadi sudah jarang ketemu Kang Narjo, kecuali sahabatnya itu memang sengaja datang malam-malam, kadang sendiri, kadang juga dengan teman-temannya.

“Kok cuma sendiri, Kang? Teman-teman pada ke mana?”

“Iya, Pak Bei. Aku tadi ikut jamaah maghrib dan isya’ di Masjid Agung Al Aqsha Klaten, terus mampir ke sini. Ternyata Pak Bei belum pulang.”

“Jadi sudah lumayan lama nunggu aku ya, Kang.”

“Gak papa, Pak Bei. Mumpung longgar, bisa mampir.”

“Ada kabar apa, Kang?

“Penging ngobrol santai saja, kok.”

“Ada berita aktual apa yang menarik?”

“Masih seputar program MBG, Pak Bei. Makan Bergizi Gratis, program Pemerintah yang akan dimulai secara resmi awal Januari nanti.”

“Apa yang menarik, Kang?”

“Sebenarnya program itu sangat bagus, Pak Bei. Sangat cerdas.”

“Sangat cerdas bagaimana maksudmu?”

“Menurutku, itu cara yang sangat cerdas untuk menggerakkan ekonomi rakyat, Pak Bei. Di samping imbasnya akan terjadi perbaikan nutrisi pada anak-anak sekolah, usia-usia pertumbuhan, ekonomi petani sebagai produsen bahan makanan pun pasti akan bergerak. Ribuan tenaga kerja juga akan terserap di dapur-dapur umum.”

“Wah hebat juga pembacaanmu, Kang. Cukup jangkep perspektifmu.”

“Walah biasa saja, Pak Bei. Namanya loper koran, kan bisa baca berita aktual setiap pagi.”

“Kayaknya loper koran yang rajin membaca ya cuma Kang Narjo, lho. Yang lain sekedar kerja ngantar koran ke pelanggan.”

“Aku merasa rugi kalau cuma ngantar berita tapi gak sempat membaca dulu, Pak Bei.”

“Ya itu bedanya Kang Narjo dengan loper koran yang lain.”

“Ah sudahlah, Pak Bei. Kita kembali ke laptop,” Kang Narjo mengajak kembali ngobrol soal MBG. “Aku khawatir pelaksanaan MBG nanti tidak seperti yang diharapankan banyak orang. Seperti selama ini sudah sering kita dengar ungkapan ‘tidak ada makan siang gratis’,” sambungnya.

“Kenapa begitu, Kang?”

“Pemerintah melalui Badan Giizi Nasional (BGN) sudah menetapkan harga MBG RP 10.000/paket, berubah dari wacana sebelumnya Rp 15.000/paket.”

“Harga itu konon ditetapkan berdasarkan hasil ujicoba di Sukabumi, Kang. Sudah teruji itu. Sudah masuk harganya.”

“Mungkin masuk kalau menunya cuma nasi, sayur, telor atau secuil daging ayam. Tapi kalau harus ada buah dan susu, ya pasti bangkrut para pelaku dapur umum nanti.”

“Itu kan kalau perhitunganmu cuma paket kecil, Kang. Cuma puluhan atau seratusan paket. Setiap dapur umum nanti akan melayani 3.000 paket per hari, lho. Artinya, omset setiap dapur umum nanti Rp 30.000.000/hari. Kalau per bulan ada 22 hari sekolah, maka omset per bulan Rp 660.000.000. Masa omset segitu gak bisa untung, Kang?”

“Ada lagi yang cukup mengkhawatirkan, Pak Bei.”

“Apa itu?’

“Konon sistem pembayaran dari BGN ke dapur-dapur umum nanti pakai pola rembers per 3 bulan. Mereka mengajukan invoice atau tagihan pembayaran per 3 bulan pelaksanaan.”

“Ya wajar to, Kang. Kan gak mungkin juga program ini cuma seperti kita makan di warung, selesai makan langsung bayar, atau seperti di restoran cepat saji, bayar dulu baru makan.”

“Itu artinya hanya pemodal besar yang akan sanggup menyelenggarakan dapur umum, Pak Bei. Harus punya dana besar untuk investasi dapur dan peralatannya yang sesuai standar dari BGN. Juga harus punya modal kerja berlipat-lipat agar bisa nalangi operasional paling tidak 3 bulan. Pelaku-pelaku usaha catering pun pasti tidak akan sanggup itu, Pak Bei.”

“Kalau pelaku usaha catering mau usahanya besar ya pasti sanggup, Kang. Itu peluang yang luar biasa, lho.”

“Ada lagi yang lebih mengerikan, Pak Bei.”

“Apa itu?”

“Pola pembayaran rembers per 3 bulan itu nanti akan berimbas pada pembayaran kepada suplayer bahan seperti beras, sayuran, bumbu, lauk-pauk, dan sebagainya. Juga pada upah tenaga kerja.”

“Kenapa begitu, Kang?”

“Para pemilik dapur umum nanti akan berdalih masih menunggu pembayaran dari BGN. Jadi, nanti para petani juga yang paling berat. Beras panenan bulan ini baru dibayar 4 bulan lagi, saat musim panen berikutnya tiba. Ngeri, kan?”

“Ya gak begitulah, Kang.”

“Kenapa tidak?”

“Yang bisa jadi suplayer ke dapur umum nanti pedagang, Bumdes, atau Koperasi. Dan mereka harus sudah terdaftar di e-katalog. Jadi bukan petani yang memasok langsung ke dapur umum, Kang.”

“Menurut Pak Bei, apakah pedagang atau Bumdes dan Koperasi cukup kuat memasok barang dengan pola pembayaran per 3 bulan?”

“Ya kalau mereka punya modal kuat pasti mau, Kang.”

“Jadi harus punya modal kuat, ya?”

“Ya iyalah, Kang. Jer basuki mawa bea, begitu kata Simbah.”

“Kalau memang begitu, jadi tidak salah dugaanku, bahwa yang akan menikmati program MBG nanti cuma orang-orang bermodal besar. UMKM seperti teman-teman Pak Bei jadi penonton saja, gak usah bermimpi ikut menikmati.”

‘Mak jleb’ rasanya mendengar kata-kata terakhir Kang Narjo. Beberapa bulan terakhir ini Pak Bei sering memotivasi teman-teman pelaku UMKM, petani-peternak, Bumdes, dan Koperasi agar bersiap menyambut program prioritas Pemerintah yang bagus itu. Tapi omongan Kang Narjo sungguh membuat Pak Bei jadi agak pesimis. Rupanya berat juga untuk bisa partisipasi dan mendapatkan profit dari program MBG. Kalau cuma mau gotong-royong dan kerja bakti, rakyat sudah setiap hari melakukannya. Ora gumun, tidak heran.

Oleh : Wahyudi Nasution
Anggota Bidang Pertanian Terpadu MPM PP Muhammadiyah

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
22,300SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles