Sebenarnya Pak Bei mau langsung istirahat sepulang dari mesjid. Matanya sudah terasa ngantuk berat sejak terdengar azan Isya’ tadi.
Kebetulan malam ini tidak ada agenda, juga tidak ada janjian. Tentu bagus kalau sekali-sekali bisa tidur gasik agar besok bisa bangun lebih awal sebelum shubuh, seperti kebiasaan Bu Bei.
Tapi bagaimana mau tidur awal kalau baru lepas sarung dan ganti baju saja tiba-tiba terdengar ada suara motor berhenti di halaman, diikuti suara orang mengetuk pintu dan ngucapkan salam.
Entah siapa tamunya, tapi gaya dan suara “uluk-salam” itu sepertinya tidak asing di telinga Pak Bei. Maka bergegas Pak Bei pakai sarungnya lagi, beranjak membuka pintu sambil menjawab salam tamunya.
“Masya Allah Kang Narjo, to? Piye kabarmu, Kang?,” tanya Pak Bei pada tamunya sambil menyalami dan mengajaknya duduk di kursi sedan di teras nDalem Pak Bei.
“Alhamdulillah kabar saya sae, Pak Bei. Sehat kewarasan. Semoga Pak Bei dan keluarga juga tansah pinaringan sehat dan keberkahan,” jawab Kang Narjo.
“Amiin. Matur nuwun, Kang. Tunggu sebentar, ya, kubuatkan kopi kesukaanmu dulu,” kata Pak Bei sambil beranjak menuju dapur.
“Siap, Pak Bei. Memang itu yang kumau,” jawab Narjo.
Untuk tamu spesial begini, Pak Bei sengaja membuat kopi sendiri, tidak order ke Cahya atau Zika anak-anaknya, seperti biasa.
Kang Narjo, loper koran langganan Pak Bei sejak 20 tahun lalu ini, bagi Pak Bei bukanlah loper koran biasa yang setiap pagi ngantar koran ke rumah dan menagih bayaran di setiap awal bulan. Tidak. Kang Narjo sudah seperti sahabat. Tidak jarang dia istirahat dulu untuk minta kopi dan ngobrol ngalor-ngidul tentang isu-isu aktual sebelum melanjutkan tugasnya mengantar koran ke pelanggannya.
Kadang juga malam-malam ngantar teman-teman dan tetangganya ke Pak Bei untuk ngobrol tentang kegiatan masjid di kampungnya, atau tentang kegiatan bertani dan beternak yang semakin tidak gampang, atau tentang situasi politik mutakhir.
Sejak 6 bulan yang lalu Pak Bei berhenti berlangganan koran karena merasa sudah sangat cukup membaca berita online di HPnya setiap hari. Sebenarnya kasihan juga Kang Narjo, pelanggannya semakin sedikit, semakin habis. Jaman sudah berubah. Sejak itu juga Kang Narjo tidak pernah tampak batang hidungnya. Baru kali ini dia datang tiba-tiba, meski tanpa janjian sebelumnya.
“Kang Narjo dari rumah atau mampir dari mana ini?,” tanya Pak Bei sambil meletakkan dua gelas kopi di meja.
“Dari Masjid Al-Aqsha, Pak Bei. Tadi ikut jamaah maghrib sekalian isya’ di sana.”
“Kok tumben, Kang? Jauh-jauh sholat ke kota.
“Sudah lama tidak ikut sholat jamaah di sana. Kangen. Muadzinnya dan Imamnya bagus. Kita sebagai makmum pun jadi terasa nikmat.”
“Ayo diminum dulu kopinya, Kang. Biar hangat,” Pak Bei mempersilakan Kang Narjo minum kopinya. Kang Narjo dan Pak Bei pun langsung menuangkan kopi di lepek, piring kecil, nyeruput kopi panas itu seteguk dua teguk, lalu menyulut keretek di tangannya masing-masing.
“Kang, semua muadzin dan imam sholat di sana memang pilihan. Tidak sembarangan. Namanya juga Masjid Agung, masjid yang dibangun Pemerintah Kabupaten Klaten dan dibiayai dengan APBD, dikelola oleh Takmir yang terdiri dari tokoh-tokoh perwakilan dari Ormas-Ormas Islam se-Kab. Klaten. Makanya Masjid ikon Kab. Klaten itu lumayan bagus baik fisik bangunannya maupun manajemen kegiatannya.”
“Lha ini lho yang ingin kuobrolkan dengan Pak Bei, makanya mampir ke sini.”
“Soal apa, Kang?”
“Kita kan mau Pilkada bulan depan, Pak Bei. Ada tiga pasangan Cabub-Cawabub. Kebetulan juga bareng dengan Pilgub Jawa Tengah, ada dua pasangan Cagub-Cawagub.”
“Memang kenapa, Kang? Kan sudah biasa kita mengikuti Pemilu, Pilpres, Pileg, Pilgub, Pilbup, dan Pilkades. Biasa wae, Kang.”
“Jujur saja, Pak Bei ikut jadi Tim Sukses pasangan calon yang mana?”
“Kenapa tanya begitu, Kang?”
“Saya siap jadi gerbong Pak Bei. Jadi pengikutlah….”
“Maksudmu?”
“Orang kecil seperti saya ini butuh petunjuk supaya tidak salah pilih, Pak Bei. Di antara 2 paslon Gubernur-Wakil Gubernur dan 3 paslon Bupati-Wakil Bupati itu, mana yang sebaiknya kita pilih?”
“Kang, kujawab dulu pertanyaanmu yang pertama tadi, ya. Aku ini bukan Tim Sukses siapa pun. Maka, untuk pertanyaanmu yang kedua, jawabanku yho embuh aku ora weruh, Kang. Tentu mereka bagus semua, berkualitas semua, bukan kaleng-kaleng. Itulah makanya mereka dipilih oleh partai dan koalisinya sebagai paslon lalu ditawarkan kepada rakyat agar dipilih.”
“Ah masa begitu, Pak Bei? Yang bener? Masa Pak Bei bukan Timses?”
“Apa aku pernah membohongi Kang Narjo?”
“Ya belum. Tapi orang sekelas Pak Bei masa gak ikut sibuk jadi Timses Pilkada atau Pilgub?”
“Bener, Kang. Orang seperti aku ini gak penting. Makanya gak ada paslon melamarku masuk Timsesnya.”
“Tapi setidaknya pasti Pak Bei tahu mana paslon yang benar-benar layak dipilih, kan.”
“Kalau pun tahu, aku tidak perlu omon-omon, Kang. Cukup kupakai sendiri dengan keluargaku.”
“Kok gitu, Pak Bei? Apa gak kasihan kalau rakyat salah pilih lagi, salah pilih terus?”
“Salah pilih bagaimana? Rakyat ini sudah pintar, Kang. Jangan pernah menganggap rakyat ini bodoh.”
“Nyatanya salah pilih terus.”
“Itu kan menurutmu, Kang. Bagi rakyat, yang penting sudah ikut menggunakan hak pilihnya di TPS. Rakyat sudah paham bahwa semua calon di setiap Pil Pil itu hanya butuh suaranya, butuh coblosannya. Rakyat sudah niteni, sudah hafal, mereka nanti kalau sudah terpilih akan sibuk dengan urusannya sendiri dan kelompoknya. Tidak ada yang benar-benar berjuang untuk rakyat.”
“Ya memang benar, Pak Bei. Mereka sibuk cari cara cepat balik modal dan melanggengkan kekuasaannya.”
“Itulah, Kang. Rakyat ini mau dibilangi apa juga susah. Gak ngaruh. Mau diajak milih yang mana, mereka sederhana saja kok mikirnya.”
“Gimana, Pak Bei?”
“Mereka hanya butuh bukti, tidak butuh janji-janji.”
“Terus, apa buktinya?”
“Amplop, Kang. Rakyat tidak mau memilih calon yang tidak bagi-bagi amplop menjelang pemilihan.”
“Wis rusak tenan.”
“Mereka tidak bisa berharap akan ada perbaikan hidup sebagai rakyat. Makanya jangan serius-serius mikir Pilgub dan Pilbub, Kang.”
“Tapi kita kan butuh pemimpin yang benar-benar baik dan mampu to, Pak Bei?”
“Husnudhon saja, Kang. Semua calon itu orang pilihan, orang-orang terbaik menurut parpol pengusungnya. Semoga parpol-sudah punya kalkulasi, punya perhitungan.”
“Ya sudahlah, Pak Bei. Besok saja mikir lagi kalau sudah dekat hari-H. Mau ikut milih atau mau golput, kita lihat nanti. Kalau ikut milih, paling ya sekadar pantas-pantas sebagai warga negara. Hasilnya wallaahua’lam.”
“Iyalah, Kang. Slow wae. Santui.”
Kang Narjo pun pamit pulang. Tampak raut wajahnya memendam rasa kecewa karena obrolan dengan Pak Bei tidak seperti yang diharapkan. Ternyata Pak Bei bukan Timses siapa pun. Kali ini Kang Narjo salah sangka.
Wahyudi Nasution
Anggota Bidang Pertanian Terpadu MPM PP Muhammadiyah