30.5 C
Jakarta
Monday, December 1, 2025
spot_img

Mendengarkan dengan Hati, Memaknai dengan Rasa

Para pendamping juga sangat dekat dengan para penyandang disabilitas di kedai kopi itu. Mereka tak sekedar memposisikan diri sebagai seorang pendamping sebagaimana tugas formalnya.

Tapi mereka juga menjadi sahabat, teman ngobrol, bahkan tempat curhat para teman istimewa. Semua itu membuat para teman istimewa yang selama ini merasa “sendiri” merasakan kehadiran teman sejati dan merasa berharga di lingkungan barunya.

Mendengarkan dengan hati, memaknai dengan rasa. Kata-kata indah itu tak sekedar jadi pajangan di dinding kedai. Para pendamping menjadikan quote inspiratif itu sebagai “ruh” pendampingan yang mereka ekspresikan sebagai bentuk ketulusan dalam mendampingi para teman istimewa.

para teman istimewa mengisi waktu luang untuk diskusi atau ngobrol dengan para pendamping
Waktu luang dimanfaatkan oleh teman-teman istimewa untuk diskusi atau ngobrol santai dengan para pendamping

Tak heran kalau suasana kedai kopi itu terasa begitu cair. Jika tidak sedang melayani pembeli, para teman istimewa itu terlihat asyik ngobrol dengan para pendamping. Tak ada sekat, apalagi rasa canggung di antara mereka.

Mereka ngobrol, diskusi, atau sekedar bercanda layaknya teman karib, sekalipun dengan bahasa isyarat. Maka, sesekali dari ruang lesehan tempat mereka berdiskusi atau sekedar ngobrol santai, terdengar suara tawa lepas.

Baca Juga : MPM PDM Tancap Gas, Pacu Inovasi Bidang Pertanian Terpadu

Para pendamping memang selalu berusaha menciptakan suasana cair. Mereka terlihat sangat friendly dengan para teman istimewa. Tentu saja agar para penyandang disabilitas itu benar-benar merasakan kehadiran teman. Teman yang bisa memahami dan menghargai mereka dengan segala kekurangan maupun kelebihannya.

Officer 1 CSR & SMEPP KPI RU IV Balongan, Andromedo Cahyo Purnomo mengungkapkan, “Perintis” tak hanya ingin membuat para penyandang disabilitas berdaya secara ekonomi. Ada hal yang tak kalah penting, yakni menumbuhkan rasa percaya diri dan membuat mereka merasa dihargai oleh lingkungannya sebagai sesama mahluk sosial.

Dia menjelaskan, para peserta pelatihan barista yang saat ini mengelola kedai kopi berasal dari alumni maupun siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Mutiara Hati. Lembaga pendidikan khusus ini dikelola sebuah yayasan non profit. Sebelumnya, program CSR Pertamina di SLB tersebut lebih sering diberikan dalam bentuk charity atau donasi.

Baca Juga : Konservasi Sumberdaya Kelautan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat : Menuju Laut Indonesia yang Lestari dan Berkelanjutan

“Dari awal kita memang sifatnya charity. Ke SLB, juga ke teman-teman komunitas olahraga disabilitas. Tapi kemudian kami berpikir, teman-teman istimewa ini juga punya cita-cita. Saat mereka selesai sekolah, mereka juga ingin bekerja, lalu punya penghasilan,” kata pria yang akrab disapa Edo ini.

Maka muncul gagasan membuatkan para teman istimewa itu tempat usaha. “Kita lalu berpikir, bagaimana memberikan mereka media, tempat mereka belajar dan praktek berusaha untuk menambah nilai ekonomi,” ujar pria asal Lumajang Jawa Timur ini.

Sejak saat itu, program CSR Pertamina RU VI Balongan untuk penyandang disabilitas, sebagian direalisasikan melalui berbagai pelatihan, seperti wirausaha, mengolah makanan, hingga barista. Soal kenapa memilih kedai kopi, menurut Edo, usaha kedai kopi memiliki prospek cukup bagus.

Sebab saat ini, ngopi menjadi tren nyaris di semua kalangan. “Kopi lagi tren, peluang usahanya ada. Tapi bukan kita bermaksud mengeksploitasi mereka. Kita kasih wadah. Apakah mereka akan terus di sini melanjutkan usaha, atau mau buka usaha sendiri, kerja di kafe, yang penting mereka sudah punya skill,” paparnya.

Melalui usaha kedai kopi, kepercayaan diri mereka semakin tumbuh. “Di sini mereka ketemu dengan banyak orang umum dari banyak kalangan. Karena mereka selama ini sebatas komunikasi dengan keluarga atau komunitas di SLB. Jadi ini bukan hanya memberdayakan secara finansial, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa percaya diri mereka,“ tegas Edo.

Antusiasme para tunarungu wicara saat ditawari pelatihan barista memang luar biasa. Tapi bukan berarti tidak ada hambatan. Gap komunikasi serta kecenderungan para penyandang disabilitas yang setelah selesai sekolah lebih banyak berada di lingkungan keluarga, menjadi salah satu hambatan.

Para teman istimewa itu rata-rata sangat grogi saat pertama kali mengikuti pelatihan. Bahkan sampai saat kali pertama melayani pembeli di kedai. Tak sedikit yang secara tidak sengaja menjatuhkan peralatan. Maka para pendamping pun terus memompa motivasi dan menumbuhkan kepercayaan diri para disabilitas rungu wicara itu.

Para pendamping juga belajar BISINDO, agar mampu berkomunikasi dan menyelami perasaan para teman istimewa. “Bagaimana kita bisa memahami teman-teman istimewa ini, kalau kita tidak tahu bahasa mereka,” kenang Edo. Belajar bahasa isyarat memang bukan perkara mudah dan butuh ketekunan.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

[td_block_social_counter facebook="tagdiv" twitter="tagdivofficial" youtube="tagdiv" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]
- Advertisement -spot_img

Latest Articles