Oleh : Syaifudin*
JARGON sektor pertanian sebagai soko guru perekonomian Indonesia, nyatanya tak semanis yang dirasakan para petani. Petani masih sering berada pada posisi terjepit, ketimbang merasakan manisnya hasil atas kerja keras dan cucuran keringat dari aktvitas pertanian mereka.
Kesulitan mendapatkan pupuk dan sarana produksi (Saprodi) maupun persoalan selama budidaya, adalah sederet problematika klasik yang tak berkesudahan. Pun ketika mereka memasuki masa panen.
Baca Juga : Korporasi Akan Tingkatkan Daya Tawar Petani
Hasil panen yang bagus, tak serta merta menjamin bahwa jerih payah dan cucuran keringat mereka selama semusim akan terbayar lunas.
Mereka masih harus siaga satu menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk. Praktik permainan harga oleh para tengkulak atau pemilik modal, adalah bayangan suram berikutnya yang harus mereka waspadai.
Baca Juga : Menuju Korporasi Tani, Jamaah Tani Muhammadiyah Mulai Terbentuk di Daerah
Membangun ekosistem pemberdayaan melalui korporasi petani yang saat ini mulai digarap Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, tentu menjadi angin segar bagi para petani.
Sebab melalui konsep korporasi petani, program pemberdayaan tak hanya setengah-setengah. Pemberdayaan dan pendampingan dilakukan sejak dari hulu hingga hilir.
Dengan begitu, para petani tak harus dipusingkan dengan bagaimana merencanakan usaha tani, memperoleh saprodi hingga menjual hasil panen mereka.
Baca Juga : Mendengarkan dengan Hati, Memaknai dengan Rasa
Biaya bertani pun jauh lebih efisien karena pembelian Saprodi dilakukan secara kolektif. Kontinuitas produksi, juga bisa didesain sejak awal dengan pola pengaturan waktu tanam yang menjadi salah satu bagian manajemen on farm.
Intinya, program pembedayaan akan dilakukan secara paripurna. Lagi pula, korporasi yang dibangun adalah milik bersama para petani. Karena mayoritas sahamnya akan dimiliki oleh para petani yang tergabung dalam wadah koperasi.
Sebagian lainnya adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Langkah awal menuju korporasi petani, tentu saja harus dimulai dari proses konsolidasi di tingkat petani.