CILACAP, MPMJATENG.com – Beras selama ini menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Petani punya tanggungjawab pertama untuk memenuhi kebutuhan beras. Ironisnya, sebagian petani yang notabene penghasil dan pemilik produk, malah hidup dalam tingkat kesejahteraan yang memprihatinkan.
Mereka tidak memiliki kekuatan dan keleluasaan untuk menentuan harga gabah maupun beras. Karena kekuatan menentukan harga berada di tangan para pemilik modal. Padahal di bidang lain seperti industri otomotif, elektronik dan produk-produk lain, penentu harga adalah produsen produk tersebut.
“Yang menentukan harga gabah atau beras malah orang lain. Petani tidak punya daya tawar. Padahal di bidang industri seperti mobil, handphone dan produk-produk lainnya, yang menentukan harga adalah pemilik produk ,” ujar dosen Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, Prof. Totok Agung Dwi Haryanto, M.P, Ph.D.
Baca Juga : Perberasan Jadi Fokus Pemberdayaan MPM Jateng
Dalam diskusi daring yang digelar oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumat 15 Septermber 2023, guru besar bidang Pemuliaan Tanaman itu mengatakan, tidak ada yang punya kompetensi untuk budidaya pertanian padi selain petani.
“Di Indonesia banyak sarjana pertanian maupun profesor pertanian. Tapi kompetensinya kalah dengan para petani,” tegas salah satu dewan pakar MPM PWM Jawa Tengah ini dalam diskusi yang dipandu moderator Sekretaris MPM PWM Jawa Tengah, Naibul Umam Eko Sakti.
Diskusi daring bertema Korporasi Petani Dalam Perspektif Akademisi dan Birokrasi ini, diikuti oleh pimpinan dan anggota MPM PWM Jawa Tengah, MPM Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se Jawa Tengah, akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah, serta unsur birokrasi.
Dia mengungkapkan, mayoritas petani di Indonesia masih hidup dalam level kesejahteraan yang memprihatinkan. Selain persoalan latar belakang tingkat pendidikan, luas lahan garapan yang mereka miliki sangat jauh dari ideal. “Rata-rata petani kita hanya memiliki lahan seluas 0,2 hektar. Padahal di luar negeri, petani punya lahan rata-rata 25 hektar,” ujar Prof. Totok Agung.
Baca Juga : MPM Jateng Mulai Garap Pemberdayaan Kawasan Pesisir
Dia menilai, korporasi petani yang sedang dirintis MPM Jawa Tengah sangat tepat untuk memberdayakan petani agar mereka memilik daya tawar. “Jalan terbaik adalah petani berhimpun dan konsolidasi sebagai SDM (Sumber Daya Manusia, red) yang punya skill khusus,” tegasnya.
Dia menambahkan, jika korporasi petani berjalan baik, selain akan meningkatkan daya tawar, petani juga tidak perlu kebingungan mencari bibit, pupuk, pestisida maupun sarana produksi pertanian yang lain. Sebab mereka berada dalam satu manajemen.

Daulat Harga
Senada dengan Prof Totok Agung, Kepala Bidang Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Demak, Heri Wuryanta, STP, MP mengungkapkan, tingkat kepemilikan lahan yang kecil, menjadi salah satu faktor pemicu rendahnya kesejahteraan petani.
Melalui korporasi, diharapkan kesejahteraan petani akan terangkat. Karena petani berada dalam satu wadah dan menjadi pemilik korporasi. Sebab modal korporasi, salah satunya berasal dari petani.
“Selama ini petani berada dalam posisi lemah. Karena yang menentukan harga adalah orang lain. Dengan korporasi, akan tercipta daulat harga. Petanilah yang akan menentukan harga. Petani juga akan punya rasa memiliki. Karena modal korporasi juga berasal dari mereka,” tambahnya.
Baca Juga : JATAM Menuju Korporasi Tani
Ketua Bidang Pertanian Terpadu MPM PWM Jawa Tengah, Ir. Hery Sugiartono mengatakan, sektor pertanian, khususnya pertanian padi, dalam beberapa tahun terakhir mulai dihadapkan banyak kendala. Salah satunya adalah makin minimnya tenaga kerja di sektor pertanian.